Sebulan sebelum bulan puasa, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah akan bertekad agar harga sembako tetap stabil. Misalkan harga daging sapi ingin diturunkan menjadi Rp 80.000 per kilogram dari Rp 120.000. Begitu juga dengan harga daging ayam, harga bawang, gula, minyak goreng dan lain-lain. Upaya yang dilakukan untuk mencapai target itu, pemerintah membuka keran impor untuk daging sapi, gula, dan bawang merah. Namun, sampai di hari kedua bulan puasa, tekad pemerintah itu belum terujud secara nyata. Ini menjadi anomali pasar, dimana harga terus naik meski stok masih memadai.
Sebelumnya, DA Santosa (“Kelola Harga Pangan” Kompas, 8 Juni 2016) mengatakan bahwa harga beberapa komoditas pangan sudah mulai merangkak naik sejak awal 2016. Harga daging sapi rata-rata terus naik sejak Januari dan mencetak rekor baru di minggu pertama bulan Juni ini sebesar Rp 113.823 per kilogram. Harga daging ayam, setelah turun cukup tajam sejak bulan Januari 2016 dan mencapai harga terendah di bulan April, mulai bergerak naik. Pola kenaikan harga yang cukup tinggi juga terjadi pada gula pasir, bawang merah, minyak goreng dan telor ayam. Komoditas pangan yang harganya relatif stabil hanya beras, tepung terigu dan kedelai.
Masyarakat mengharapkan harga pangan dapat turun, agar tidak terlalu terbebani oleh tingginya harga. Di samping itu, anomali pasar menyebabkan Presiden Jokowi memerintah Kepala Polri untuk menyelidiki rantai pasok pangan. Seperti tahun lalu, kepolisian juga diperintahkan menyelidiki kemungkinan penimbunan beras ketika harga terus naik. Selain itu, Presiden juga memberi arahan kepada Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Direktur Utama Bulog untuk mempertahankan langkah-langkah yang yang diperlukan dalam pengendalian harga komoditas pangan. Namun sampai saat ini belum ada penurunan harga komoditas pangan yang dimaksud.
Memang terlalu naif, jika pemerintah berkesimpulan bahwa untuk mencapai stabilitas harga pangan dalam negeri maka serahkan pembentukan harga domestik ke pasar internasional melalui pembukaan impor besar-besaran.
Penulis berpandangan bahwa apabila memang pernyataan pemerintah tentang ketersediaan pangan sudah tercukupi, maka masalah komunikasi publik dan komunikasi politik pemerintah menjadi penting. Ternyata mengelola pangan tidak hanya urusan produksi dan rantai distribusi, melainkan juga mengelola ekspektasi masyarakat karena pangan masih menjadi pengeluaran penting lebih dari separuh rumah tangga Indonesia.
Pada akhirnya semakin terbenahi perencanaan mengenai produksi, impor dan distribusi pangan. Perencanaan yang dimaksud berdasarkan data pangan yang akurat.pola produksi, stok dan konsumsi pangan sesungguhnya tidak banyak berubah setiap tahun. Ketiganya dapat dipelajari dan dikaji dengan tepat sehingga kebijakan yang diambil tepat sasaran.
Pematangsiantar, 12 Juni 2016
Alfredo Pance Saragih (APS)