Mohon tunggu...
Alfredo Fernando
Alfredo Fernando Mohon Tunggu... -

Saya merupakan seorang pelajar dan pembelajar. Melalui kompasiana, saya ingin belajar menuangkan sedikit pemikiran dan pendapat saya dalam bentuk tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dualisme 100 Hari SBY

3 Februari 2010   12:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu topik diusung oleh kalangan masyarakat umum dan mahasiswa ketika mereka melakukan aksi turun ke jalan pada tanggal 28 Januari 2010 yang lalu, program 100 hari SBY. Ya, topik ini memang cukup memekikan telinga jika anda membaca, mendengar, dan menyimak media-media massa pada periode tersebut. Dalam berbagai kesempatan, beberapa pihak mengutarakan pendapatnya untuk mendukung SBY, dan beberapa pihak lain menyatakan tidak untuk SBY. Dua mindset yang berbeda ini pun menimbulkan dualisme pandangan dalam publik dalam meninjau tidak hanya kinerja 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, melainkan juga pemerintahan 5 tahun kedepan. Ada pihak-pihak dengan berbagai maksud dan intensi yang ingin menjatuhkan SBY, alias tidak berpihak pada pemerintahan SBY-Boediono mengacu pada elemen-elemen program 100 hari yang menurut mereka (pihak yang menentang kinerja program 100 hari) tidak terealisasi dengan menyeluruh atau singkat kata, gagal. Beberapa dari pihak penentang ini ikut turun ke jalan untuk demonstrasi dalam rangka menggoyangkan kabinet. Namun, perlu kita sadari pula bahwa juga ada pihak-pihak yang mendukung SBY dan kabinetnya. Dalam jangka waktu hingga akhir Januari dan awal Februari ini, pihak yang melakukan "oposisi" terhadap SBY terkesan lebih banyak secara kuantitas daripada mereka yang masih berpegang teguh pada SBY. Mengapa mendukung SBY Pertama, dari sisi pendukung SBY. Bagi mereka yang mendukung SBY, satu kata yang keluar dari mulut mereka, "Lanjutkan!". Mereka akan berpendapat bahwa program 100 hari tidak dapat dijadikan acuan keberhasilan suatu pemerintahan, sementara pemerintahan itu sendiri dalam negera presidensial berlangsung dalam periode 5 tahun secara konstitusional. Saudara Ruhut Sitompul, dalam suatu perbincangan, juga mejabarkan dukungannya kepada SBY melalui teori persneling-nya. Ibarat roda gigi pada kendaraan, pada 100 hari ini, pemerintahan SBY baru memasang gigi satu, dan kemudian secara bertahap diyakini akan melaju dan memasang gigi dua, tiga, dan empat sampai 5 tahun pemerintahannya untuk menunjukkan taring keberhasilan pemerintahannya. Untuk mempertebal alasan mengapa memberikan dukungan kepada SBY, berbagai kasus yang muncul pada pasca bergulirnya kabinet SBY dapat pula dikaitkan. Jika dihubungkan dengan berbagai kasus-kasus politik nan fenomenal seperti kasus kriminalisasi KPK dan kasus Bank Century yang "rumit" dan belum berujung, para pendukung SBY akan berdalih bahwa pandangan gagalnya program 100 hari ini disebabkan oleh munculnya kasus-kasus tersebut pada awal pemerintahan SBY yang dianggap sebagai inhibitor factor. Dari sisi "positif" ini, secara rasional, memang ada benarnya juga alasan mengenai faktor-faktor pengganggu kinerja SBY, sehingga 100 hari ini tidak dapat berjalan maksimal. Dalam rangka berpikir positif, saya menaruh setumpuk harapan pada pihak pendukung untuk terus mendukung SBY sampai 5 tahun kedepan dengan sejumlah kekhawatiran yang akan dipaparkan berikut ini. Kekhawatiran "oposisi" Bicara soal menentang SBY dalam program 100 hari ini, tak dapat dipungkiri lebih banyak faktor pendukung kelompok ini untuk menentang pemerintahan SBY. Satu hal yang mendapat sorotan utama adalah perkara korupsi yang mencuat dalam kasus Bank Century. Hal ini semakin diperkuat dengan perlakuan istimewa terhadap pejabat pemerintahan dan perlengkapan istana. Ya, bagaimana masyarakat tidak heboh menanggapi kehadiran Toyota Crown Royal seharga lebih dari 1 milyar rupiah yang mengiringi tugas para menteri negara. Belum lagi isu kenaikan gaji para menteri. Terkait aksesoris istana, kehebohan publik akan masalah laten korupsi kian mencuat dengan adanya perbaikan pagar istana senilai 22 milyar rupiah. Begitu luar biasa tantangan yang dihadapi SBY dari kelompok "oposisi" ini melihat fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Kalau saya berpikir dari kacamata opponent, maka satu hal yang saya sangat khawatirkan telah, sedang, dan akan terjadi: Permainan Politik. Alasannya sederhana. Di tengah mencuatnya kasus Bank Century terkait dugaan korupsi pejabat pemerintahan, muncullah kasus-kasus lain yang sebenarnya bersifat figuran, tetapi karena faktor kepentingan, kasus ini menjadi "heboh" di masyarakat. Lihatlah berapa banyak masyarakat yang ingin menutup account-nya atau memindahkannya dari suatu bank lantaran maraknya pemberitaan pembobolan ATM dengan ATM Skimmer dan sejenisnya. Belum lagi kasus sampingan lainnya seperti kasus mutilasi dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Babeh terhadap anak-anak jalanan. Mengingat Indonesia kini adalah negara demokrasi dengan kebebasan pers seluas-luasnya, saya khawatir ada pihak-pihak yang secara sengaja memunculkan kasus-kasus tambahan tersebut untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap sejumlah kasus politik utama yang seharusnya sedang menjadi perhatian massa. Lanjutkan! Tentunya tulisan ini hanyalah pendapat semata. Hingar bingar opini tentang kinerja pemerintahan SBY saat ini pasca 100 hari biarlah menjadi santapan pers dan masyarakat yang haus akan informasi dan gemar berdiskusi. Tidak ada maksud penulis untuk menuduh pihak tertentu. Saya sangat mengharapkan kejujuran dan keterbukaan semua pihak dalam melanjutkan pemerintahan ini. Kalau ditanya saat ini saya dukung siapa, tentunya saya memilih untuk mendukung kabinet SBY-Boediono yang telah terbentuk ini untuk melanjutkan dan menuntaskan tugasnya hingga 5 tahun kedepan. Apapun keadaannya, pemerintahan ini memang telah berjalan, dan sebagai masyarakat sudah selayaknya kita mendukung kinerja pemerintahan SBY melalui kritik yang membangun dan bukan dengan ancaman dan kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun