100 Hari di Balik Meja
Hari pertama menjabat, sang menteri tampak penuh semangat. Ia menepuk meja rapat sambil berkata lantang, "Kita harus bekerja dengan hati!" Para staf mengangguk-angguk, beberapa bahkan mencatat kata-katanya seperti sedang mendengar wejangan kehidupan. Namun, siapa sangka, semangat itu mulai luntur seminggu kemudian.
Masalah pertama muncul ketika sang menteri mencoret sebuah proposal penting. Alasannya? "Warnanya membosankan,"Â katanya sambil mengangkat bahu. Para staf hanya bisa terdiam, bertukar pandang dengan bingung. Salah satu staf mencoba menjelaskan pentingnya isi proposal itu, tapi sang menteri dengan santai menjawab, "Warna itu jiwa, tanpa jiwa, apa gunanya kita bekerja?"
Tak berhenti di situ, drama berlanjut ke acara makan siang bersama yang diinisiasi oleh staf khusus (stafsus). Dengan penuh percaya diri, mereka mengundang tamu-tamu penting untuk "menikmati hidangan khas daerah." Namun, pada hari-H, terjadi insiden tak terduga: mereka lupa memesan nasi. Hidangan mewah seperti rendang, ayam goreng, dan sambal terong tersaji dengan apik, tapi tanpa nasi, tamu-tamu hanya bisa tersenyum kecut.
"Lapar juga bagian dari strategi," salah satu stafsus berusaha mencairkan suasana sambil tertawa. Sayangnya, lelucon itu tidak membantu. Beberapa tamu terlihat saling berbisik, mungkin membicarakan apakah mereka harus pergi mencari warung terdekat.
Hari-hari berlalu, tapi kerja keras yang diharapkan justru berubah menjadi serangkaian insiden konyol. Rapat penting seringkali berubah menjadi ajang debat sengit tentang hal-hal tak relevan, seperti tema dekorasi ruangan atau pemilihan merek kopi untuk pantry. Bahkan, ada satu rapat yang batal digelar hanya karena proyektor tidak nyala.
Ketika 100 hari akhirnya berlalu, sang menteri mengadakan konferensi pers. Dengan senyum lebar, ia berkata, "Kami telah bekerja keras untuk menciptakan suasana kerja yang menyenangkan dan harmonis." Sementara itu, di belakang layar, para staf justru sibuk berdebat tentang siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan demi kegagalan.
Alih-alih menciptakan perubahan besar, menteri dan timnya justru menciptakan drama yang tak kalah seru dari sinetron. Di balik meja rapat, mereka lebih sering terpaku pada permasalahan kecil yang sebenarnya tak perlu. Yang tersisa hanyalah tawa getir dari mereka yang berharap lebih.
Begitulah, 100 hari penuh dinamika, atau lebih tepatnya, 100 hari penuh komedi. Rakyat yang membaca kegaduhan mereka bertanya-tanya, sebenarnya mereka bisa kerja gak sih?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI