Terong Mahal, Demo Pecah di Sukasikut
Desa Sukasikut tiba-tiba heboh. Harga cabai dan terong ungu di pasar melambung tinggi, nyaris menyentuh harga emas. Semua ini gara-gara satu orang: Bu Lurah Sukarsih.
Pagi itu, Bu Lurah dengan santai memasuki pasar. "Saya butuh semua terong ungu dan cabai di sini. Kulkas saya kosong," katanya sambil mengeluarkan dompet tebal. Dalam hitungan menit, semua pedagang senyum lebar, dan lapak mereka kosong melompong.
Esok harinya, ibu-ibu di desa geger. "Terong Rp50 ribu per kilo! Cabai Rp200 ribu? Ini mau bikin sambal atau investasi?" keluh Bu Siti sambil menunjukkan dompet yang kian tipis.
Berita ini menyebar ke aplikasi X (dulu Twitter). Tagar #GantiBuLurah mendadak trending. Warganet Sukasikut beraksi, membuat meme Bu Lurah sedang berenang di kolam penuh cabai.
Hari Jumat, ibu-ibu desa berkumpul di depan balai desa, membawa spanduk bertuliskan:Â "Terong Murah, Bu Lurah Pergi!" Suasana semakin panas ketika Bu Siti memimpin orasi, "Kami ingin masak terong balado, bukan balado emas!"
Bu Lurah akhirnya keluar dari kantor sambil membawa sepanci besar terong balado. "Ibu-ibu, saya sebenarnya beli banyak cabai dan terong ini untuk bikin balado buat kalian semua dan kita bisa makan bersama-sama di kelurahan," katanya.
Namun, ibu-ibu tetap cemberut. "Bu Lurah, bukan itu masalahnya. Harga naik karena Bu Lurah borong! Terong ini enak, tapi kantong kami sakit!"
Bu Lurah pun mengusulkan solusi. "Mulai besok, kita tanam cabai dan terong bersama di kebun desa. Gratis bibit, ya!"
Ibu-ibu akhirnya setuju, meski tagar #GantiBuLurah tetap ramai. "Lucu juga, Bu Lurah sekarang belajar bercocok tanam," ujar salah satu warganet.
[cerita terinspirasi dari kegiatan ibu-ibu RT yang menanam kangkung di sawah kosong milik warga]