Langkah Kecil, Langit Luas
Hujan di hati, langit tak pernah marah Langkah kecil di bumi, menggapai cakrawala Setiap luka menulis kisah, tak pernah sia-sia Hidup, meski perih, tetaplah anugerah
Sore itu, di teras rumahnya yang kecil di pinggiran kota, Bram merasakan angin lembut membelai wajahnya. Sebuah kejadian sepele telah mengubah segalanya. Dia hanya ingin memindahkan pot bunga. Namun, sebuah langkah kecil yang salah membuatnya terjatuh. Tulang telapak kakinya patah.
"Ah, Tuhan," desah Bram sambil meringis. Tak pernah ia membayangkan harus menjalani operasi untuk sesuatu yang terasa begitu remeh. Namun, di balik rasa sakit itu, ia mulai menemukan pelajaran.
Di ruang operasi, Bram merasa kecil. Lampu besar di atasnya memancarkan cahaya putih terang, menyoroti wajah-wajah tim medis yang penuh konsentrasi. "Tenang saja, Pak Bram. Sebentar lagi selesai," kata dokter sambil tersenyum. Dua jam berlalu seperti sekejap mata. Ketika ia terbangun di ruang transit, Bram merasa hidupnya baru dimulai.
Hari-hari pemulihan di tempat tidur membuka babak baru. Bram, yang selama ini sibuk dengan pekerjaan dan jarang punya waktu untuk dirinya sendiri, mulai menulis. Kompasiana menjadi tempat pelariannya. Artikel pertama yang ia unggah, "Langkah Kecil yang Berarti," mendapat respons hangat. Dari situlah, ia merasa menemukan kembali dirinya.
Namun, kebahagiaan kecil itu tak bertahan lama. Di tengah masa pemulihannya, Bram menerima kabar duka. Pamannya, sosok yang ia hormati, meninggal dunia. Bram hanya bisa mengirim doa dari jauh. Ia menulis sebuah penghormatan di blog pribadinya: "Selamat Jalan, Paman. Warisanmu adalah semangat hidup kami."
Belum selesai ia meresapi duka, Oktober membawa kabar pahit lainnya. Sahabatnya, Johan, juga berpulang. Bram menulis untuk Johan seperti ia menulis untuk dirinya sendiri, menggali kenangan-kenangan lama yang kini terasa begitu berharga. "Kehilangan mereka meninggalkan ruang kosong," tulisnya. "Namun, cinta mereka tetap tinggal di hati."
Di tengah badai kehilangan, tawaran tak terduga datang dari Kemenag. Bram diminta mengajar di tiga sekolah baru. Meski masih harus bertumpu pada tongkat, ia menerima tantangan itu. "Saya ingin melangkah lagi," katanya pada dirinya sendiri.
Bagi Bram, mengajar adalah panggilan jiwa. Di SMP, ia menemukan semangat muda yang segar. "Pak, kenapa kita harus belajar agama?" tanya seorang siswa. Bram tersenyum, "Karena agama mengajari kita mencintai hidup, termasuk dalam setiap langkah kecil yang kita ambil."