Bunga Narcissus di Hari Natal
Denting lonceng Natal menggema di seluruh sudut Betlehem. Salju putih menutupi tanah yang dipenuhi jejak kaki para gembala, yang datang dari jauh dengan membawa persembahan untuk Sang Bayi. Di antara kerumunan, seorang gembala muda bernama Eli bermaksud membawa sekuntum bunga Natal berupa bunga Narcissus yang indah sebagai hadiah istimewa. Dengan harapan melampaui batas waktu dan tempat, Eli melangkah mantap, bertekad mempersembahkan bunga tersebut di depan palungan Yesus.
Eli mengumpulkan semangat saat melihat wajah-wajah ceria yang dipenuhi sukacita. Suara nyanyian para malaikat menembus langit malam, "Gloria in excelsis Deo!" Nyanyian itu menggugah hatinya. Setiap nada seolah mengingatkan Eli tentang cinta dan pengorbanan, sekaligus menegaskan tujuan mulia perjalanan ini. Ia membayangkan betapa bahagianya Bayi Yesus menerima persembahan tulus darinya.
Setibanya di dalam kandang, kembang api warna-warni mulai membakar langit. Eli melihat orang-orang lain dengan hadiah mereka: makanan, kain, dan mainan untuk si Bayi. Semangat merayakan Natal seolah memenuhi hangat hati setiap pendatang. Namun, saat gilirannya tiba, Eli merasakan getaran aneh di dalam jiwanya. Seakan ada suara yang memanggilnya untuk mempersembahkan bunga itu ke tempat yang berbeda.
Ketika Eli berdiri di depan palungan, pandangannya beralih. Di belakangnya terletak dua nisan yang sederhana, terbuat dari batu yang tak terawat. Di sanalah ibunya dan ayahnya diistirahatkan. Suddenly, perasaan rindu yang lama terpendam muncul dengan kuat. Musim gugur di tahun-tahun sebelumnya, Natal telah menjadi waktu yang paling sulit, ketika derai air mata tak bisa membendung rasa rindunya pada dua sosok paling berharga dalam hidup Eli.
Dengan penuh haru, Eli berbalik. Mengabaikan panggilan untuk memberikan bunga Natal kepada Sang Bayi, langkahnya membawa dia ke arah nisan. Di sana, di hadapan orang tuanya yang telah berpulang, ia meletakkan dua buket bunga yang sebelumnya ia bawa. Bunga-bunga itu tak hanya hiasan, tetapi juga simbol cinta dan rasa syukur yang sarat akan kenangan manis.
Suara gemerisik seakan berhenti sejenak. Para gembala dan pengunjung lain melirik ketika Eli menghentikan langkahnya. Kerinduan yang mendalam memenuhi udara, menggantikan euforia Natal yang kian membara. Eli pun mengenang masa-masa indah bersama kedua orang tuanya: cerita malam sambil menghangatkan badan di dekat api unggun, senyuman mereka saat melihat bintang-bintang berpendar di langit.
Saat rongga suara dalam hatinya melantunkan lagu syukur, suara para malaikat terdengar lagi. Melodi "Gloria in excelsis Deo" kembali menggema. Kali ini lebih mendalam, terasa lebih menyentuh. Eli menatapkan nisan sambil berbisik, "Selamat Natal, Ibu dan Ayah," suaranya berkaca-kaca.
Selepas meletakkan bunga itu, Eli terbangun dari tidurnya yang penuh keringat. Rupanya perjalanannya dalam mimpi ke Bethlehem membawanya ke kampung halaman, tempat segala rindu bertaut bersama ari-ari di masa bayi yang dikelilingi doa-doa para leluhur. Tempat cinta dan kasih sayang pertama kasih diracik, diolah, dimasak dan disuguhkan kepada seluruh anggota keluarga.
***