Ada seorang tokoh umat bernama Samuel. Ia terkenal dengan pemikiran negatifnya. Meski berpakaian rapi dan berbicara dengan lemah lembut di hadapan jemaatnya, di dalam hatinya tersimpan kegelapan yang tak terkatakan.
Uang jemaah yang seharusnya digunakan untuk perbuatan baik, telah ia korupsi selama bertahun-tahun. Keangkuhan membuatnya merasa tak tersentuh oleh hukum dan moralitas. Namun, tindakan jahatnya mulai membuahkan hasil: suara-suara aneh kerap datang mengganggu pikirannya.
Suatu malam, setelah seharian merasa gelisah, Samuel duduk sendirian di dalam gereja tua. Dengan suasana mencekam, ia mulai menulis puisi.
Di kegelapan jiwa ini,
Tercurah rasa penuh nista,
Kebohongan bersembunyi di balik senyuman,
Menanti saat giliranku menghilang.
Di setiap salam yang pura-pura,
Suara-suara menggerogoti benak,
"Engkau penipu, engkau pengkhianat."
Merasa terjebak, terperangkap.
Tak terlepas dari bayang-bayang,
Di balik altar yang mulia, penuh dosa.
Berkali-kali ia membaca puisi itu, semakin dalam rasa cemas menghantuinya. Tiba-tiba, suara-suara itu semakin keras, bisikan yang tampaknya berasal dari kegelapan di sudut gereja. "Samuel... Samuel..." seru suara yang samar. Jantungnya berdegup kencang, peluh dingin mengalir di dahinya.
"Siapa itu?" teriaknya, suaranya mencerminkan ketakutan yang menggerogoti dirinya. Ia bangkit dan melangkah ke luar gereja, berharap udara malam dapat menenangkan pikirannya. Namun, jalan di luar gereja tampak tidak familiar, lampu jalan berkedip-kedip, dan angin malam berbisik dengan nada menakutkan.
Samuel kembali ke dalam gereja, berusaha menenangkan diri. Di dalam gedung tua itu, suasana terasa semakin berat. Suara-suara mengerikan kian nyata, memanggilnya dari arah yang tak bisa ia lihat. Dalam kegelapan, ia merasakan sesuatu memanjang di belakangnya.
"Mengapa kau bersembunyi dari dirimu sendiri, Samuel?" bisikan itu semakin dekat, seperti suara mantan jemaah yang pernah dirugikannya.
Samuel mulai panik. "Itu hanya imajinasiku," ujarnya takut-takut. Tetapi suara itu terus bergema, "Kau tahu itu tidak benar. Mereka semua tahu."
Ia berlari ke arah pintu keluar, namun pintu itu terasa terkunci. Mungkin tindakan korupsi dan ketidakbenaran yang ia lakukan telah menjeratnya dalam sebuah ikatan gelap. Suara tawa menegangkan menggema, merayapi dinding gereja. "Apakah kau siap untuk menghadapi konsekuensinya?" suara lain meneruskan.