Kopi, Hujan Desember, dan Natal (1)
Hujan turun lembut, meresapi bumi,
Desember bernyanyi, syahdu tak henti,
Di tangan, secangkir kopi tanpa gula,
Hangat menyapa, mengundang sukacita.
Rintik menari, melodi musim dingin,
Membawa aroma Natal yang semakin yakin,
Tak perlu mewah, cukup keaslian rasa,
Seperti hati yang memeluk damai-Nya.
Di setiap tetes hujan, janji hadir,
Natal mendekat, membalut rindu yang getir,
Kopi ini, teman setia di sudut senja,
Menghangatkan jiwa dalam gaudete sempurna.
Melalui puisi tiga bait berjudul "Kopi, Hujan Desember, dan Natal" di atas saya berusaha membawa pembaca pada perenungan mendalam tentang sukacita, harapan, dan kehangatan yang mengiringi persiapan menyambut Natal. Dalam bait pertama, hujan yang turun lembut di bulan Desember menjadi simbol kesuburan dan pembaruan.
Meski langit berawan dan dingin menusuk, ada secangkir kopi tanpa gula yang menawarkan kehangatan dan kesederhanaan. Ini mencerminkan bahwa sukacita Natal tidak berasal dari hal-hal mewah, melainkan dari kesederhanaan yang tulus dan autentik, seperti kopi yang menyapa dengan aroma aslinya. Natal mengingatkan kita untuk menikmati keindahan dalam hal-hal kecil yang sering terabaikan.
Bait kedua menggambarkan rintik hujan sebagai melodi musim dingin yang mengiringi perjalanan menuju Natal. Hujan, yang sering dianggap melankolis, justru diubah menjadi simbol harapan.
Aroma Natal yang terasa semakin dekat menunjukkan bahwa dalam perjalanan penuh rintangan sekalipun, ada keyakinan akan sesuatu yang indah di ujungnya.
Pesan ini mengajak kita untuk memandang kehidupan dengan optimisme, menemukan pengharapan bahkan di tengah badai kehidupan. Seperti kopi tanpa gula yang tetap lezat karena keasliannya, harapan sejati sering kali ditemukan dalam kejujuran dan penerimaan.