Menghormati Warisan Rafael PriyonoÂ
Di tengah hujan deras yang mengguyur Yogyakarta, ratusan umat lingkungan Manukan dan sahabat berkumpul dengan penuh rasa kehilangan namun bersemangat di rumah keluarga di Jalan Mijil, Manukan Condongcatur, Sleman pada Jumat, 6 Desember 2024. Mereka datang untuk mengikuti misa 40 hari kepergian Rafael Priyono, atau yang akrab dipanggil Opa Salib Besar oleh kedua anak saya. Dalam suasana haru dan kehangatan, kisah hidupnya dihidupkan kembali melalui puisi (Eti Daniastuti, Adrian Diarto dan Veronika Naning), macapat (Y. Siyamto), dan monolog (Khocil Birawa, sekaligus sebagai pemungkas acara), mengingatkan kita akan jejak yang ditinggalkannya dalam hati semua yang mengenalnya.
Ketika hujan deras mengguyur Yogyakarta, tidak ada satu pun tetes air yang mampu menyurutkan semangat mereka yang hadir dalam perayaan ekaristi 40 hari Opa Salib Besar, Rafael Priyono. Suara hujan yang menghentak atap tenda seolah menjadi latar belakang melankolis, mengiringi aliran kenangan yang penuh kasih tentang sosok yang telah meninggalkan kita.
Acara yang digagas oleh Budi Sardjono, seorang novelis terkenal dan pelatih lokakarya penulisan, berlangsung dengan hangat meski cuaca tidak bersahabat. Di antara para pengunjung, tampak wajah-wajah familiar, sahabat, kerabat, dan para pencinta seni berkumpul untuk mengenang salah satu yang terbaik di antara kita. Rafael Priyono, atau Opa Salib Besar, adalah sosok yang terkenal tidak hanya karena bakatnya dalam sastra, tetapi juga karena kedermawanannya yang tak terhingga.
Setelah misa yang khidmat, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi dan penampilan macapat (bentuk puisi tradisional Jawa yang sarat makna). Suara lembut para pembaca seolah membawa kita ke dalam dunia Opa Rafael, mengeksplorasi perjalanan hidupnya dan nilai-nilai yang ia anut. Monolog (berdasarkan cerpen yang ditulis almarhum) menghadirkan tawa sekaligus larut dalam haru, menggambarkan kenangan indah bersama Opa yang begitu dikenang.
"Menghadiri acara ini membuat saya merasa seolah Opa Rafael masih di sini, bersama kita. Kenangan-kenangannya membangkitkan semangat untuk terus berkarya," ungkap salah satu sahabat dekatnya dengan suara bergetar. Ungkapan itu saat mendengar Maria Widy (istri almarhum) membacakan sebuah cerita yang ditulis oleh almarhum 12 hari sebelum meninggal. Betapa komitmen dan dedikasi Opa Rafael pada sastra diungkapkan hingga menjelang tuntas masanya di atas bumi ini.
Di tengah kehangatan perayaan itu, hidangan khas angkringan pun menyemarakkan suasana. Bakso, sate, wedang ronde, dan aneka makanan penuh citarasa ditawarkan, seolah mempresentasikan keragaman teman dan sahabat yang dicintai Opa Rafael semasa hidup. Makanan ini bukan hanya sekadar santapan, tetapi juga perwujudan dari kebersamaan, dan cinta yang mengikat.
Sementara itu, saya pun berkesempatan untuk berbagi kesan tentang perjumpaan saya dengan Opa Rafael. Seseorang yang selalu menebar kebaikan, memberikan inspirasi kepada banyak orang melalui karya dan sikap hidupnya. Alih-alih meratapi kepergiannya, Opa Rafael lebih suka jika kita merayakan hidupnya dengan mengingat pelajaran berharga yang telah ia bagikan kepada kita.
Saat acara berakhir dan hujan mulai mereda, tampak senyum-senyum haru di wajah para peserta, menggambarkan betapa Opa Salib Besar tidak hanya meninggalkan kenangan, tetapi juga semangat untuk terus berkarya dan berbagi. Seperti hujan yang menyuburkan tanah, kenangan Opa Rafael akan terus hidup, memberi kehidupan bagi banyak jiwa yang terhubung dengannya.
[semasa hidupnya Opa Rafael telah menulis cerpen di berbagai media: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Mingguan HIDUP) dan ikut berbagai antologi cerpen dan puisi berbahasa Indonesia dan Jawa. Salah satu cerpennya dimuat dalam Antologi cerpen Ziarah Jiwa-jiwa yang Gelisah (Magnum Pustaka Utama Yogyakarta. Kebanyakan puisinya bernuansa Papua. Bahkan ia pernah menulis feature tentang orang-orang suku Kamoro dan Asmat dengan tokoh utama seorang bocah bernama Janias. Feature ini kemudian menginspirasi Ari Sihasale dan Nia Zulkarnain menggarap sebuah film berjudul Danias, dengan catatan: "Kisah ini berdasar penuturan seorang guru di Papua, tanpa kompensasi apapun. Itulah salah satu sisi gelap seniman sastra yang karya-karyanya ditayangkan di layar lebar tanpa imbalan apa-apa]
Selamat jalan, Opa Salib Besar. Kenanganmu akan selalu terukir dalam hati kami semua.