Makam Berlabur Putih
[Di medsos viral seorang tokoh agama yang melecehkan seorang penjual. Tudingan miring dan sarkas ditujukan kepadanya. Saya tidak mau latah juga menudingnya, tapi mencoba secara internal melakukan otokritik. Tentu ini tidak berkaitan dengan pribadi seorang pastor atau romo tertentu. Ini hanya cara saya membahasakan kegundahan jika ada tokoh agama yang tidak bisa menjaga mulutnya dari ujaran kasar dan merendahkan umatnya atau bahkan bukan umatnya hanya karena status sosial yang beda. Mulut seorang pemimpin agama itu untuk melantunkan doa, menaikan pujian dan bukan untuk melontarkan hinaan dan meluncurkan makian dan ujaran diskriminatif].
Ada seorang pastor terkenal, sering disebut "Romo Putih" karena selalu mengenakan jubah putih bersih. Namun, sikapnya tak seputih pakaiannya. Dengan suara lantang, ia sering memarahi pedagang kecil di depan gereja yang salah memberi kembalian, mengkritik umat yang jarang datang ke misa, atau menghardik anak-anak yang bermain terlalu ribut di halaman gereja bahkan di dalam gereja.
Suatu hari, seorang penjual jajanan salah menghitung total belanjaannya. Romo Putih langsung berteriak, "Dasar curang! Orang seperti kamu pantas menerima hukuman dari Tuhan!" Orang-orang yang berada di dekat penjual itu terdiam, hanya berani saling pandang tanpa berkata apa-apa.
Malam harinya, seorang nenek tua datang ke pastoran membawa sekeranjang sayur segar. Ia mengetuk pintu dan disambut oleh Romo Putih. Dengan suara lembut, nenek itu berkata, "Romo, saya bawakan sayur yang baru. Jangan khawatir, semuanya sudah saya timbang dengan benar. Tapi, izinkan saya bertanya sesuatu."
Romo Putih mengangguk, merasa dihormati.
Nenek itu melanjutkan, "Romo, kenapa ya, kalau makam dilabur putih, kelihatannya indah di luar, tapi isinya tulang belulang busuk? Bukankah lebih baik sederhana di luar, tapi penuh doa dan amal di dalam?"
Romo Putih tertegun. Nenek itu menutup dengan kalimat pelan, "Jangan sampai kita terlalu sibuk membersihkan luar, tapi lupa memperbaiki dalam. Itu seperti sayur busuk yang masih dibungkus daun hijau, Romo. Bagus di luar, tapi tak ada gunanya."
Sejak malam itu, halaman gereja kembali tenang. Namun, Romo Putih bukannya berubah. Ia malah lebih sering terlihat di halaman gereja, mengecat ulang dinding-dindingnya agar semakin putih, seakan menghapus bayangan kata-kata nenek tua tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H