Kakek dan Keriuhan Pilkada: Cangkul, Kecurangan, dan Klaim Kemenangan!
Â
Hari sudah senja. Orang-orang mulai sibuk dengan kopi sore. Diiringi suara ayam berkokok dan semilir angin sore, seorang kakek dengan cangkul di tangan mengamati keriuhan yang terjadi akibat Pilkada.Â
Sambil duduk di bangku kayu tua di teras rumahnya, ia menggelengkan kepala melihat para calon yang dengan berani mengklaim kemenangan meski hitungan resmi suara belum juga rampung.Â
"Apa mereka lupa hitungan dasar? Atau hausnya akan kuasa sampai bikin mereka gila?" gumamnya, seolah melontarkan pertanyaan untuk semua yang berada di sekitar.
Di seberang jalan, sekelompok pendukung paslon berteriak kegirangan, merayakan apa yang mereka sebut sebagai "kemenangan sementara" meski angka-angka yang mereka acungi masih samar. Kakek tersebut merasa terganggu, sebab bagi dirinya, politik seharusnya tidak sebodoh itu.Â
Ia mulai mendengar bisik-bisik dari warga desa lainnya, ada yang mendukung tindakan para paslon itu dengan anggapan itu adalah strategi, sementara yang lain berpendapat bahwa klaim tanpa bukti adalah tindakan yang tidak etis dan bisa merusak mentalitas pemilih.
"Ini kan bukan main catur, yang bisa kita klaim hukum matinya raja sebelum pertandingan berakhir!" keluh kakek, berkali-kali mengusap dahi dengan frustasi. Ia memikirkan bagaimana generasi muda saat ini, yang seharusnya mendapatkan pendidikan politik yang baik, malah disuguhkan tontonan yang lebih mirip drama ketimbang pemilu yang sehat. Sementara itu, para calon yang seharusnya menjadi panutan, justru ikut terjun dalam keriuhan yang tidak mendidik.
Dengan mata sipitnya, kakek tak kalah kritis menilai perilaku media sosial yang ikut-ikutan meramaikan suasana. Setiap tweet dan status seolah menjadi senjata bagi para pendukung setiap paslon, menciptakan pusaran informasi yang lebih banyak menyesatkan daripada mendidik.Â
"Bahaya ini, nak! Jika semua orang lebih mengandalkan postingan alay ketimbang fakta, ke mana jati diri kita sebagai bangsa?" ujarnya dengan nada prihatin.
Pelan-pelan, wacana masyarakat pun berkembang, ada yang mulai berdebat di warung kopi, ada yang menyoroti bahwa klaim ini bisa saja menimbulkan kebingungan dan konflik di antara pendukung.Â
"Kita harusnya bisa lebih sabar menunggu hasil resmi! Kita ini bukan tim sepakbola yang merayakan gol sebelum peluit akhir," ucap seorang pemuda yang ikut mendengarkan.
Sementara itu, kakek yang awalnya tinggal jauh dari hiruk-pikuk politik kini menjadi pusat perhatian, ditanya pendapatnya oleh warga yang ingin mendengar suaranya yang bijak.Â
Dengan senyum sumbing, ia pun menambahkan, "Ya sudah, jika mereka mau melakukan keriuhan ini, paling tidak kita bisa duduk dan menonton sambil ngemil kacang," serunya, membuat semua yang mendengarnya tertawa.
Dengan semua dinamika ini, si kakek pun mendapatkan pelajaran baru: terkadang, dalam keriuhan politik, humor dan kebijaksanaan bisa jadi pelipur lara. Dan siapa sangka, dari teras rumahnya yang sederhana, ia menemukan ketenangan dengan cara yang paling tidak terduga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H