Pak Bejo, seorang petani biasa dengan dompet luar biasa tipis, terbangun karena suara ribut di depan rumahnya. "Woi, serangan fajar, Pak Bejo! Jangan ketinggalan!" teriak tetangganya. Pak Bejo mengerutkan kening. Dia lebih takut pada serangan hama wereng, tapi siapa tahu, serangan ini justru membawa berkah. Namun, siapa sangka, serangan ini malah menjadi awal hari yang penuh drama.
Pak Bejo membuka pintu dengan malas. Di luar, ada seorang lelaki muda dengan senyum seterang lampu stadion. "Pak Bejo, ini ada sedikit bantuan untuk masa depan kita," katanya sambil menyodorkan amplop tebal.
Pak Bejo langsung merasa seperti menang undian arisan, tapi kemudian dia bertanya, "Ini serius, Mas? Ada embel-embel pilih-pilih kan?"
Si lelaki muda tersenyum malu. "Ah, enggak kok, Pak. Cuma kalau bisa, ya inget aja siapa yang bantu pagi-pagi begini."
Pak Bejo mengangguk, tapi dalam hati dia bingung. "Masa depan siapa nih? Masa depan saya, atau masa depan Mas yang bawa amplop?" pikirnya.
Setelah lelaki itu pergi, Pak Bejo membuka amplop. Isinya uang. Tapi bukannya senang, Pak Bejo malah stres. "Kalau saya ambil, nanti masuk berita, 'Petani Ditangkap KPK.' Kalau saya balikin, saya dicap sok suci!" ujarnya.
Di tengah kebingungannya, istrinya, Bu Bejo, muncul dengan berita lain. "Pak, harga cabai naik lagi, ini semua gara-gara PPN 12%! Semua mahal!"
Pak Bejo memegang dadanya. "Aduh, ini kok dada saya sesak. Jangan-jangan bukan serangan fajar yang bahaya, tapi serangan jantung gara-gara PPN!"
Namun, drama belum selesai. Sore harinya, berita di TV bikin emosi Pak Bejo semakin naik. "Pejabat Korupsi Dana Bansos untuk Liburan ke Maladewa."
Pak Bejo berdiri dari kursinya. "Astaga, saya ini bayar pajak dari hasil panen buat ngisi perut anak saya, eh, mereka malah ngisi perut ikan di laut! Emang enggak punya hati!"