Pilkada Serentak 2024: Lingkaran Setan dalam Dunia Politik dan Judi Online
Sebuah Candaan Ringan Mengena
Kadang, mengikuti Pilkada itu seperti main judi di kasino yang dikelola oleh badut: semua orang terlihat meriah, tapi kita tetap bertanya-tanya di mana suara kita yang hilang. Di satu sisi, ada calon yang janjinya melebihi takaran gula di dalam teh manis, sementara di sisi lain, kita sebagai pemilih hanya bisa berharap tidak terjebak dalam pertaruhan---atau lebih buruk, jadi tumbal dalam permainan yang lebih besar.Â
Jadi, siapkan popcorn, karena dalam beberapa bulan ke depan, kita akan disuguhkan drama politik yang tak kalah seru dari sinetron, lengkap dengan adegan 'pesta kampanye' yang diakhiri dengan kita yang termenung dan berkata, "Ya Tuhan, kenapa saya harus pilih yang ini lagi?"
Â
Antara Pilkada dan Judi: Dua Hal yang Tak Terpisahkan?
Pilkada Serentak pada 27 November 2024 akan melibatkan 545 daerah---bukan hanya memilih pemimpin, tetapi juga mempertaruhkan nasib masyarakat. Layaknya judi online yang masif, di mana taruhan dikumpulkan dengan harapan keuntungan yang tinggi, Pilkada sering kali menjadi arena pertaruhan lain: suara rakyat.
Nah, bicara soal angka 545 ini, siapa yang tidak teringat pada zaman SDSB (Sistem Darurat Sewa Bantuan yang kepanjangan aslinya adalah Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah haha) ketika angka-angka togel menjadi mata air harapan? Angka 545 seolah jadi jaminan, seakan-akan bisa jadi nomor jitu untuk meraih kekayaan mendadak! Siapa tahu, di balik perjuangan memilih pemimpin, ada pula yang sibuk mencari sepaket angka hoki yang bisa mengubah nasib. Tentu saja, seperti dalam judi, hasilnya bisa sama-sama bikin euforia atau malah baper, kan?
545 Daerah, 545 Peluang (atau Pembangkit Uang?)
Dengan 415 kabupaten dan 93 kota yang 'bertarung', kita tak bisa mengabaikan potensi pengeluaran yang menggunung. Berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan para calon untuk mendapatkan suara? Biaya kampanye bisa jadi lebih besar dari gaji mereka saat menjabat. Dalam konteks ini, serangan fajar yang terkenal seolah menjadi kuda hitam dalam permainan ini. Seakan-akan, hak suara bisa dibeli dengan uang.
Bayangkan saja, para calon seolah berkompetisi dalam sebuah reality show berjudul "Who Wants to Be a Kepala Daerah?" dengan bonus: hadiahnya bukan mobil atau liburan ke Bali, melainkan suara rakyat! Mungkin sambil berdoa agar "Cash is King", mereka membawa tas besar, menyiapkan amplop, dan bahkan kado spesial, berharap suara mereka tak ditawarkan dengan diskon, seperti belanja di bazaar. Eh, siapa tahu, ada yang memutuskan untuk membuat paket diskon: "Beli tiga suara, gratis satu!" Lucu, tapi mengerikan, kan?
"Wani Piro?" --- Meme yang Menggugah Kesadaran
Tak heran bila pertanyaan "Wani piro?" atau "Berani berapa?" menjadi viral menjelang Pilkada. Ini bukan hanya lelucon, melainkan sebuah sindiran tajam terhadap praktik yang sering terjadi. Banyak orang menanyakan berapa nilai suara mereka, seolah suara demokrasi bisa diperdagangkan seperti lotere.
Begitu viralnya, sampai-sampai ada yang berpikir untuk membuat aplikasi daring bernama "SuaraStock", di mana setiap suara bisa "dijual beli"! Bayangkan, ada grafik yang menunjukkan fluktuasi nilai suara: "Wani piro?" hari ini bisa jadi "Berani seribu!" besok, tergantung tren. Sambil asyik cek harga suara, mereka bahkan bisa mikir, "Nah, setelah dapat harga tinggi, bisa deh nyari tahu, siapa calon yang bisa 'beli' stok suara terbesar!" Ini benar-benar pasar suara, di mana tawar-menawar bisa bikin GOT (Gaji Oplosan Terbesar) di kalangan calon!