Negarawan dan Secangkir Integritas
Apa jadinya jika seorang negarawan, yang seharusnya berdiri sebagai penjaga keadilan dan simbol moralitas, justru larut dalam pusaran kepentingan pragmatis, masih memperjuangkan kepentingan politik bagi kelompok dan kroninya? Sama seperti secangkir kopi yang kehilangan rasa pahitnya, integritas seorang tokoh bangsa dapat sirna jika ia menjual prinsip demi keuntungan sesaat, demi kalkulasi politik partisan apalagi demi kepentingan dinasti.
Kita semua tahu bahwa
Negarawan adalah sosok yang diharapkan melampaui kepentingan pribadi atau kelompok. Ia berdiri di tengah, mengayomi semua pihak, dan menjadi penjaga nilai-nilai luhur yang mengikat masyarakat. Namun, dalam realitas politik, sering kali kita menemukan tokoh besar yang justru kehilangan arah. Mereka tergoda untuk berpihak, mengorbankan keadilan demi agenda sempit yang bertolak belakang dengan peran sejatinya.
Di tengah ketegangan politik, terutama menjelang pesta demokrasi, keberpihakan seorang negarawan bisa menjadi simbol keretakan sosial. Dukungan yang terlalu jelas terhadap salah satu pihak tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi generasi mendatang. Negarawan yang seharusnya menjadi jangkar stabilitas malah berubah menjadi pemecah belah yang sulit diredam.
Pada saat seperti inilah kita perlu kembali menelaah peran penting seorang negarawan: menjaga integritas, menunjukkan keteladanan moral, dan menyatukan bangsa di atas segala perbedaan. Seorang negarawan sejati tidak berjuang demi warna bendera tertentu, tetapi untuk memastikan semua bendera berkibar dengan damai di bawah langit yang sama. Hal inilah yang menjadi kegelisahan utama yang dituangkan dalam puisi "Sudah Lama Tidak Menulis Kopi."
Â
Sudah Lama Tidak Menulis Kopi
Kopi di cangkir tua tak lagi mengepul,
hangatnya hilang, tersisa jejak pahit yang samar.
Negarawan, dulu tegak bagai pilar,
kini menyusut dalam kaleng kepentingan vulgar.
Bukankah tugasmu melampaui warna bendera?
Bukan meruncingkan pilihan, tapi meluaskan asa.
Namun, langkahmu condong, suaramu terjual,
lalu siapa yang mengajarkan adil, di tanah ini yang mahal?
Kopi tetap kopi, tak pernah malu akan pahitnya,
tapi seorang negarawan, hilang kala menjual rasa.
Pilihlah diam untuk keadilan yang nyata,
sebab pemimpin terbaik lahir dari integritas yang paripurna.
Puisi ini saya tulis semalam menjelang pergantian hari ini hendak menggambarkan kerisauan mendalam terhadap mereka yang dilabeli "negarawan" yang kehilangan esensi integritasnya. Melalui metafora "kopi" yang kehilangan rasa pahitnya, puisi ini mengkritik bagaimana sikap para tokoh bangsa dapat menciptakan atmosfer yang mengarah pada ketidakadilan dan hilangnya teladan moral.
Ada beberapa perspektif yang bisa kita dalami dari puisi tiga bait di atas:
Pertama, Perspektif Etika dan Moral. Seorang negarawan diharapkan menjadi simbol keadilan dan moralitas yang tinggi. Dalam situasi seperti pilkada, di mana ketegangan dan polarisasi meningkat, seorang tokoh besar harus berdiri di atas semua golongan, menciptakan atmosfer bahwa siapapun yang terpilih adalah untuk kebaikan bersama.
Ketika seorang negarawan memilih mendukung salah satu pihak secara terang-terangan, ia mencoreng nilai moral yang seharusnya menjadi dasar perannya. Seperti kopi yang kehilangan rasa pahitnya, seorang tokoh yang kehilangan integritasnya menjadi "hambar" di mata rakyat.
Kedua, Perspektif Politik dan Kepemimpinan. Dalam politik, netralitas seorang negarawan adalah fondasi untuk menjaga kepercayaan publik. Ketika ia menunjukkan keberpihakan yang terlalu mencolok, ia tidak hanya melemahkan demokrasi, tetapi juga menciptakan ruang bagi konflik yang lebih besar.
Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang mampu menjadi "pengayom" semua pihak, bukan hanya pendukung satu golongan. Sikap demikian menciptakan keteladanan bahwa keadilan lebih penting daripada keuntungan pribadi atau kelompok.