Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Bawah Bayang-Bayang Dada Sang Raja

1 November 2024   09:24 Diperbarui: 1 November 2024   09:24 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Bawah Bayang-Bayang Dada Sang Raja

Di sebuah negeri yang penuh hijaunya dedaunan dan suburnya tanah, seorang Raja memerintah dengan suara yang keras dan tegas. Setiap pagi, ia berdiri di tengah alun-alun, sambil menepuk dadanya dan berkata, "Tidak ada visi dan misi hulubalang. Hanya ada visi dan misi Raja." Sabdanya diucapkan tanpa ragu, membalut setiap tindakan hulubalang dan abdi dalem dengan mantel perintah yang tak bisa dibantah. Setiap kebijakan yang terlahir bukan dari niat pribadi para hulubalang, melainkan dari sabda mulia sang Raja.

Tahun-tahun berlalu, dan titah Raja menjadi fondasi dari setiap gerak di negeri itu. Hulubalang, abdi dalem, hingga pembantu terkecil sekalipun, semuanya bergerak mengikuti bayang-bayang dada yang ditepuk Raja. Mereka bersaksi pada rakyat bahwa segala yang dilakukan adalah untuk kepentingan negeri, tapi di balik pintu-pintu kayu istana, berhembus bisik-bisik kepentingan pribadi yang saling berkelindan.

Suatu hari yang berembuslah angin perubahan. Raja, yang usianya kian menua, digantikan oleh Putra Mahkota. Namun, pergantian ini bukan hanya sekadar peralihan takhta. Putra Mahkota ini berbeda: matanya tajam dan bibirnya penuh kecerdasan. Dia tahu bahwa kekuasaan yang diwariskan tidak akan bisa sepenuhnya digenggam, tanpa menguak jejak-jejak kelam yang disembunyikan oleh para hulubalang lama yang setia pada sang Raja.

Sang Putra Mahkota melihat bagaimana para hulubalang, abdi dalem, dan penjilat Raja melanggengkan posisi dengan berdalih atas titah sang Raja lama. Mereka yang dulu setia sekarang mulai goyah dan sebagian menaruh curiga, takut setiap langkah mereka terungkap oleh penguasa baru yang lebih muda. Di bawah bayang-bayang dada yang tak lagi ditepuk, para hulubalang yang dulu tegak berdiri kini mulai gentar.

Maka dimulailah babak baru di negeri itu: sidang-sidang tertutup diadakan, dokumen-dokumen rahasia dipelajari. Sang Putra Mahkota memerintahkan pencarian bukti dan membuka kembali seluruh arsip kebijakan yang lahir dari masa kekuasaan ayahnya. Seolah para hulubalang kini dilahirkan sebagai tersangka, satu per satu mereka dipanggil, diinterogasi, diungkit segala yang pernah mereka lakukan, semuanya atas nama raja yang lama.

Penjilat raja yang tersisa mendapati diri mereka dalam dua pilihan: melanjutkan pengabdian kepada takhta yang baru, atau tenggelam dalam kenangan kelam di bawah kuasa Raja lama. Banyak yang memilih bertahan, membenarkan kebijakan sang Putra Mahkota sebagai 'pembaharuan'. Mereka mulai menuding para hulubalang senior yang terlalu tahu banyak tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Dengan kekuasaan hukum di tangannya, sang Putra Mahkota mulai menjerat satu per satu para hulubalang lama. Ditangkap dan dipenjarakan, dituduh korupsi, dan bahkan pengkhianatan. Seperti domino yang runtuh, setiap dari mereka jatuh satu demi satu. Namun, bisik-bisik beredar bahwa seharusnya bukan para hulubalang yang pertama kali diadili, melainkan sang Raja sendiri, yang sesungguhnya memegang visi dan misi di balik tindakan mereka. Tetapi, nama Raja adalah sakral. Sang Putra Mahkota tak ingin nama ayahnya dikotori, meskipun itu berarti meninggalkan jejak-jejak kejahatan dalam bayang-bayang.

Di balik tembok penjara, para hulubalang tua hanya bisa terdiam. Mereka tahu bahwa sang Putra Mahkota bermain dengan licik, menggunakan hukum sebagai senjata untuk membungkam mereka yang tahu terlalu banyak. Mungkin inilah karma dari kesetiaan yang tak pernah dipertanyakan. Mereka yang dulu bernaung di bawah bayang-bayang dada Raja, kini jatuh di bawah tajamnya hukum yang diarahkan oleh Putra Mahkota.

Sang Putra Mahkota kini memegang kendali penuh atas negeri itu, sementara para hulubalang dan abdi dalem yang dulu setia terpuruk di balik jeruji, dihantui oleh bayang-bayang masa lalu yang membelenggu mereka. Mereka tahu, dalam hati yang paling dalam, bahwa keadilan bukan milik raja atau putra mahkota, melainkan milik rakyat yang menyaksikan segalanya dari kejauhan, sembari berbisik, "Mungkin suatu hari, kebenaran akan berbicara."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun