Ketika Panggilan Terakhir Itu Datang,
Merayakan Kehidupan dalam Damai dengan Kematian
Pernahkah kita berpikir, bahwa kematian, sekeras apapun ia mengetuk pintu, sesungguhnya mengajarkan kita tentang hidup? Dalam perjalanan waktu, ia adalah tamu yang pasti, menanti kita semua tanpa kecuali. Apa yang terjadi saat akhirnya kita berdamai dengan kehadirannya, bukan dalam ketakutan, tetapi dalam penerimaan yang utuh? Di balik setiap kehilangan, tersembunyi pesan kehidupan yang lebih besar, lebih dalam. Mari kita menyelam lebih jauh, bersama kisah Opa Rafael dan mereka yang telah lebih dulu pulang ke rumah-Nya, menyusuri rahasia yang mungkin selama ini kita abaikan: bahwa kematian, pada akhirnya, adalah panggilan untuk hidup lebih bermakna.
Kematian, bagi banyak orang, mungkin adalah hal paling menakutkan. Namun, pada akhirnya, kematian adalah satu-satunya hal yang pasti dalam kehidupan ini. Apapun latar belakang dan usia kita, cepat atau lambat kita semua akan sampai pada ujung perjalanan yang sama. Kematian adalah rahasia yang menanti untuk diungkap, bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diterima sebagai bagian dari anugerah kehidupan itu sendiri.
Hari ini, saya dan sahabat penulis katolik yang tergabung dalam Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) Yogyakarta  merasakan kepergian Bapak dan Opa Rafael Priyono Mintodihardjo, seorang guru dari Bandungan Ambarawa yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk mengajar anak-anak di pedalaman Kalimantan dan kemudian di Papua. Anda, pembaca Kompasiana yang budiman mungkin juga mengalami peristiwa yang sama di sekitar Anda. Itulah kenyataan.
Setelah sekian lama berjuang dengan sakitnya, Pak Rafael kini telah kembali kepada Sang Pencipta. Kepergian orang-orang terkasih kerap menorehkan duka mendalam di hati kita, meninggalkan ruang kosong yang tak mungkin terisi. Namun, meski menyesakkan, kematian mengajarkan kita akan indahnya kehidupan yang telah diberikan kepada kita.
Sebagai umat beriman (Katolik), kita percaya bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan baru di sisi Tuhan. Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa kematian adalah jalan menuju hidup kekal. Kematian hanyalah pintu menuju hidup yang lebih sempurna bersama Allah, seperti yang telah dijanjikan oleh Kristus. Dalam keyakinan ini, kematian (Opa Rafael) bukanlah akhir dari kisah cintanya dengan dunia ini atau dengan orang-orang yang mencintainya, termasuk kita. Sebaliknya, ia telah menyelesaikan perjalanannya dan kini bersama Tuhan yang penuh kasih.
Ketika saya mengalami kehilangan ibu kandung, justru saat berada di tengah pandemi, sehingga hanya bisa menyaksikan upacara pemakaman hanya lewat layar. Pengalaman ini tentu menjadi momen berat dan menyakitkan bagi saya dan adik-adik yang seharusnya membutuhkan kehadiran saya sebagai kakak sulung mereka. Namun apa daya kita sebagai manusia? Hanya bisa berharap yang terbaik apalagi ketika mengalaminya secara pribadi.
Pengalaman ini mungkin mengajarkan kita untuk menghargai kehadiran dan kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai selama kita masih ada. Kehilangan memang menyakitkan, tetapi menerima dan merayakan perjalanan hidup mereka adalah cara kita berdamai dengan kematian.
Berdamai dengan kematian adalah berdamai dengan kehidupan itu sendiri. Saat kita menerima bahwa suatu hari nanti panggilan terakhir itu juga akan datang kepada kita, kita mulai memahami bahwa hidup ini adalah anugerah yang sementara. Maka, setiap detik yang kita miliki adalah momen untuk berbagi kasih, mencipta damai, dan menjalani hidup yang bermakna.
Kita diajak untuk tidak hanya bersedih, tetapi juga bersyukur. Berterima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk mencintai, mengalami, dan menjalani kehidupan ini. Karena, seperti Opa Rafael yang kini telah tenang, kita semua akan tiba pada waktunya.