Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Fiksi Tengah Malam): Saatnya Bertindak, Bukan Menunggu

28 Oktober 2024   22:57 Diperbarui: 28 Oktober 2024   23:41 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAATNYA BERTINDAK, BUKAN MENUNGGU

Di tengah lapangan yang luas, para peserta latihan berbaris tampak rapi dan penuh semangat. Keringat mengucur deras, menetes di wajah dan membasahi seragam mereka. Setelah selesai dengan latihan berbaris, instruktur berteriak, "Berlarilah, jangan duduk lagi!" Suaranya tegas, memecah keheningan yang sejenak menyelimuti lapangan. Seketika, para peserta pun berlari mengitari lapangan, mencoba menyesuaikan diri dengan irama langkah yang lebih cepat. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan, tetapi di dalamnya tersirat tekad yang kuat untuk terus maju.

Tidak jauh dari tempat latihan itu, di ruang rapat yang tenang, para pembantu presiden baru saja menyelesaikan retret tiga hari di Magelang. Acara tersebut diadakan untuk merefleksikan tugas mereka sebagai abdi negara sekaligus menguatkan semangat kebersamaan dan dedikasi mereka terhadap bangsa. Setelah tiga hari yang penuh dengan diskusi mendalam dan evaluasi diri, mereka kembali ke ibu kota dengan satu pesan penting yang terus terngiang-ngiang dalam benak mereka: "Saatnya berlari untuk bekerja bagi bangsa, bukan menunggu diganti setelah tiga bulan jika tidak bisa bekerja."

Di ruang kerjanya yang luas, Bapak Sukardi, salah satu pembantu presiden, duduk sambil memandang jauh ke arah jendela yang menghadap ke Monas. Ia merenungkan pesan itu, menyadari betapa beratnya tanggung jawab yang kini ada di pundaknya. Selama ini, organisasinya memang besar, dengan banyak departemen dan biro yang bekerja di bawahnya, tetapi ia merasa ada yang kurang. Meskipun struktur organisasinya tambun, lamban dalam implementasi menjadi kritik utama yang dilontarkan banyak pihak. Ia harus mengakui, kritik itu ada benarnya.

Sambil menyeruput kopi pagi, ia memutar kembali dalam ingatannya pertemuan terakhir di Magelang. "Tidak ada lagi ruang untuk kelambanan. Kita ini pelari, bukan penunggu," ucap seorang mentor dalam retret tersebut. "Jika kita duduk terlalu lama, bangsa ini akan tertinggal. Kita perlu menjadi katalis perubahan."

Dengan semangat yang kembali berkobar, Sukardi langsung memanggil para stafnya untuk rapat dadakan. Di hadapan mereka, ia berkata, "Kita perlu mulai berlari. Saya tidak ingin lagi mendengar alasan birokrasi yang memperlambat implementasi kebijakan. Kita akan ubah cara kita bekerja mulai hari ini."

Ia mulai dengan mempersingkat jalur komunikasi antar-departemen, mengurangi tahapan birokrasi yang tak perlu, dan memberikan wewenang lebih besar kepada stafnya untuk mengambil keputusan dengan cepat. Inisiatif pertama yang ia lakukan adalah mempercepat implementasi program kesehatan masyarakat di daerah-daerah terpencil yang selama ini tertunda karena berbagai kendala.

Saat mereka berusaha mempercepat langkah, tantangan demi tantangan muncul. Birokrasi yang sudah lama terbiasa dengan proses berbelit-belit kini mulai merasa terganggu dengan perubahan ritme kerja yang lebih cepat. Ada yang mengeluh, ada yang mulai takut kehilangan posisi nyaman, dan tidak sedikit pula yang memilih untuk mundur secara diam-diam karena merasa tidak lagi mampu menyesuaikan diri.

Namun, bagi Sukardi, hal ini adalah ujian awal untuk membuktikan bahwa mereka bisa beradaptasi atau tersingkir oleh keadaan. Ia tak ingin organisasinya hanya sekadar besar di atas kertas tetapi lamban dalam tindakan nyata. Suatu hari, ia mengumpulkan kembali timnya dan dengan tegas menyampaikan, "Saya tidak peduli seberapa besar organisasi kita. Saya peduli seberapa cepat kita bisa membuat perubahan. Jika kita tidak bisa bekerja untuk rakyat, maka lebih baik kita serahkan posisi ini kepada mereka yang sanggup."

Perubahan yang ia terapkan perlahan mulai menunjukkan hasil. Program-program yang dulu hanya menjadi wacana di ruang rapat kini mulai terlihat nyata di lapangan. Salah satu contohnya adalah pembangunan pusat kesehatan di desa terpencil yang berhasil diselesaikan hanya dalam waktu dua bulan, padahal sebelumnya selalu tertunda karena berbagai alasan administrasi. Para petani yang selama ini kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan kini bisa merasakan manfaatnya. Keberhasilan ini menjadi pendorong semangat baru bagi tim Sukardi.

Namun, di balik keberhasilan itu, ada pihak yang merasa terganggu. Mereka yang dulunya menikmati kenyamanan posisi tanpa banyak bekerja mulai merasa terancam. Kritik-kritik muncul, baik dari dalam maupun luar organisasi, mencoba menggoyahkan komitmen Sukardi dan timnya. "Kebijakan terburu-buru ini tidak akan menghasilkan sesuatu yang berkelanjutan," kata salah seorang pejabat senior dalam sebuah wawancara. "Kita perlu langkah yang terukur, bukan lari tanpa arah."

Bagi Sukardi, komentar-komentar itu justru menjadi pengingat bahwa jalan menuju perubahan tidak akan selalu mulus. Ia menjawab kritik tersebut dengan hasil nyata di lapangan. "Kami tidak berlari tanpa arah," ujarnya dalam sebuah konferensi pers. "Kami berlari untuk mengejar waktu yang telah terbuang, mengejar kesejahteraan yang telah lama diabaikan."

Hari demi hari, langkah organisasi semakin mantap. Setiap anggota timnya mulai memahami bahwa berlari bukan hanya tentang kecepatan, tetapi juga konsistensi. Mereka harus terus berlari, walaupun ada rintangan di depan.

Di sebuah pertemuan internal, Sukardi kembali memberikan pesan kepada timnya, "Kita sedang berada di persimpangan jalan. Jika kita berhasil menjaga momentum ini, maka kita akan meninggalkan warisan yang berharga bagi bangsa ini. Jika tidak, maka kita akan diingat sebagai organisasi yang tambun tapi tak berdaya."

Dengan kerja keras dan semangat yang terus dipompa, hasil mulai tampak semakin nyata. Para penduduk di pelosok negeri mulai merasakan dampak dari perubahan kebijakan yang diinisiasi. Program-program pemberdayaan ekonomi mulai menjangkau masyarakat kecil, fasilitas kesehatan dan pendidikan semakin mudah diakses, dan pelayanan publik menjadi lebih efisien.

Namun, perubahan besar memang tak pernah lepas dari dinamika. Di tengah kesuksesan itu, ada beberapa orang di lingkaran dalam organisasi yang mulai merasa lelah dan kehilangan semangat. "Tidak bisakah kita kembali ke cara yang lama? Saya sudah terlalu tua untuk terus berlari," keluh seorang staf senior.

Sukardi menanggapi dengan bijak, "Bagi mereka yang lelah, beristirahatlah sejenak, tapi jangan berhenti. Bagi bangsa ini, tidak ada pilihan selain terus bergerak maju."

Pesan itu menjadi penutup yang sempurna untuk pertemuan hari itu. Organisasi kini telah mengukuhkan tekadnya untuk tidak sekadar tambun dalam jumlah, tetapi juga tangkas dalam tindakan. Bagi Sukardi dan timnya, berlari bukan lagi tentang menunjukkan siapa yang tercepat, tetapi tentang menunjukkan siapa yang tetap bertahan dan terus bekerja untuk rakyat.

Mereka menyadari bahwa kerja keras yang konsisten akan jauh lebih berarti daripada duduk nyaman menunggu waktu berlalu. Ketika tantangan baru datang, mereka telah siap. Dengan langkah yang mantap, mereka terus berlari untuk membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun