Malam Tirakatan Menjelang Pelantikan Prabowo-Gibran: Merajut Kebersamaan di Tengah Transisi
Saya membayangkan malam ini, di seluruh Indonesia ada keheningan yang berbicara lebih lantang dari sorak-sorai kemenangan atau kekalahan. Ya sebuah malam tirakatan menjelang pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden baru. Namun itu hanyalah sebuah cita-cita seorang rakyat kecil yang tidak menjadi perhatian para pemimpin negeri ini.
Pelantikan yang akan dilakukan pada 20 Oktober 2024. bukan sekadar momen seremonial, tetapi undangan bagi seluruh rakyat untuk duduk sejenak, merenung, dan melampaui hiruk-pikuk politik yang memisahkan kita. Di tengah gegap gempita perdebatan, ada satu suara yang perlu kita dengar, suara persatuan yang menggema dalam hening doa dan harapan.
Namun sayangnya tradisi semacam ini belum pernah ada dan terjadi. Pergantian presiden selalu disertai dengan suasana emosional dan sentimentil dari berbagai kubu yang pernah saling bersaing untuk meraih kemenangan. Sejak Indonesia merdeka belum pernah ada pihak yang menang sebagai pelanjut pemerintahan yang lama duduk bersama memohon doa dan berkat
Malam ini menjadi kesempatan untuk merangkul dua pemerintahan -yang akan segera berlalu dan yang akan segera dimulai- dalam sebuah sikap yang penuh syukur dan refleksi. Pemerintahan Joko Widodo telah membawa kita melewati berbagai babak sejarah yang tidak selalu mudah, tetapi meninggalkan warisan yang tak terbantahkan, termasuk segala polemik yang menyertainya. Tentu inilah saatnya untuk tidak hanya menghitung pencapaian, tetapi juga mengakui perjuangan yang belum usai, seraya berterima kasih atas dedikasi pemimpin yang telah berusaha membawa bangsa ini lebih jauh.
Namun, malam ini juga adalah tentang menatap ke depan, menyongsong sebuah babak baru di bawah kepemimpinan Prabowo (yang konon akan membentuk kabinet yang tambun yang kita bisa bayangkan tidak bisa bergerak lincah). Kita tidak hanya menyambut seorang pemimpin baru, melainkan menyatukan harapan kita dalam ikhtiar bersama untuk menjadikan bangsa ini lebih baik dari sebelumnya.
Malam tirakatan menjelang pergantian pemimpin adalah seruan bagi kita semua untuk menghapus sekat-sekat polarisasi yang masih tersisa, menggantinya dengan ikatan kebersamaan yang lebih kokoh. Inilah saatnya kita membangun kebersamaan dengan kesatuan tekad dan kesatuan rasa sebagai warga Indonesia yang sama yang memiliki pemimpin yang sama meski diawali dengan dan oleh pilihan yang berbeda.
Saya membayangkan malam ini, di kantong-kantong partai politik rakyat bergembira dalam keheningan doa sembari menaikan harapan-harapan agar direstui Yang Ilahi supaya perjalanan bangsa ini semakin terarah menuju Indonesia emas tahun 2045. Selepas tirakatan rakyat melebur dalam pra pesta sebelum besok merayakan pesta yang sesungguhnya untuk menyambut pemimpin yang baru. Namun sayang seribu sayang, hingga hari ini budaya tirakatan belum menyentuh hati para pemimpin sehingga belum dianggap penting untuk menjadi sebuah habitus yang baik.
Bukan hanya sebagai warga negara yang menunggu kebijakan baru, tetapi sebagai satu keluarga yang menginginkan negeri ini semakin tangguh. Malam ini, kita menundukkan kepala dalam syukur dan memohon petunjuk untuk hari esok. Bukan hanya sekadar menyongsong pemimpin baru, tetapi menyatukan diri dalam harapan bersama, karena sesungguhnya malam tirakatan ini adalah cermin bagi kita semua bahwa terlepas dari perbedaan pandangan, kita tetap satu bangsa yang menyongsong hari esok dengan semangat yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H