Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gelar Doktor antara Prestasi Akademik dan Komoditas Murahan

18 Oktober 2024   05:00 Diperbarui: 18 Oktober 2024   05:53 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(hasil olahan GemAIBot, dokpri)

Gelar Doktor Antara Prestasi Akademik dan Komoditas Murahan

Beberapa tahun terakhir ini, fenomena "mengejar" gelar doktor yang seolah-olah seperti "menjual dan membeli kacang goreng." Fenomena ini kian mencuat menjadi sebuah "budaya" terutama di kalangan tokoh dan politisi. Pertanyaan nakal yang bisa diajukan adalah "Mengapa mereka doyan sekali berburu gelar? Apakah supaya diakui sebagai yang pintar, pakar karena sudah "makan bangku sekolah" S3? Perjuangan menjadi doctor di program S3 kini bias maknanya menjadi sistem setor (uang) selesai? Gelar terbeli, kualitas akademis tergadaikan?

Gelar S3 (doctor) yang seharusnya mencerminkan pencapaian akademik dan dedikasi dalam penelitian ilmiah ini mulai kehilangan makna, tergerus oleh praktik-praktik yang menjadikan gelar tersebut sebagai alat prestise semata. Bagi sebagian individu yang benar-benar menekuni pendidikan tinggi dengan penuh perjuangan, fenomena ini merusak nilai dan pengorbanan yang telah mereka curahkan demi mencapai gelar doktor tersebut.

Tulisan sederhana ini mencoba untuk mengulas bagaimana komersialisasi gelar akademik memengaruhi persepsi publik terhadap pendidikan tinggi dan dampaknya terhadap kualitas intelektual bangsa.

Gelar Doktor yang "Instan"

Dalam banya kesempatan, kita sering mendengar atau membaca berita tentang tokoh publik atau politisi yang tiba-tiba memperoleh gelar doktor hanya dalam waktu singkat. Normalnya ada yang 3-4 tahun, kini bisa dicapai cukup dengan 1,5 tahun. Lagi-lagi pertanyaan nakal muncul: "Kapan mereka kuliah, tatap muka dengan dosen, mengajukan proposal, melakukan riset, menulis di jurnal ilmiah nasional atau internasional? Kapan mereka "dibantai" oleh dosen pembimbing berkaitan dengan cara berpikir dan bertindak ilmiah/akademis sebagai seorang calon doctor, yang siap "menelorkan atau melahirkan" sebuah teori atau ilmu baru?" Pertanyaan semacam ini, sampai rumput habis dibakar petani pun tetap tak ada jawaban.

Tiba-tiba kita membaca atau mendengar berita tentang undangan sidang terbuka untuk ujian doctor. Pejabat public sekelas menteri yang super sibuk kapan punya waktu kuliah, belajar dan mengerjakan tugas? Memang, meskipun secara formal semua persyaratan administratif terpenuhi, banyak yang meragukan kualitas dan keseriusan di balik pencapaian tersebut. Praktik ini sering kali melibatkan kerjasama dengan lembaga pendidikan yang kurang kredibel, atau bahkan universitas yang tidak memiliki reputasi akademik yang kuat, di mana gelar doktor diberikan secara cepat dengan proses yang dipertanyakan.

Motivasi di balik fenomena ini biasanya bukanlah dedikasi untuk meningkatkan kualitas keilmuan, melainkan untuk meningkatkan citra, mendongkrak popularitas, atau sekadar meraih status sosial tertentu. Ketika gelar doktor tidak lagi diperoleh melalui kerja keras dan penelitian yang mendalam, maka kesan bahwa gelar ini bisa "dibeli" mulai muncul. Hal ini menyebabkan penurunan nilai intrinsik dari gelar doktor itu sendiri, merusak citra akademik, dan menimbulkan kecurigaan publik terhadap pemegang gelar tersebut.

"Demam" gelar berderet itu semacam "pansos" alias panjat sosial gaya baru agar semakin dianggap ada, dianggap pintar dan hebat. Gelar berderet mungkin saja tidak berbanding lurus dengan sepak terjang dan dedikasinya pada upaya mencerdaskan bangsa. Karena bisa jadi orang semacam ini terlalu egois atau memfokuskan dirinya sebagai pusat perhatian (orang pintar baru) dan bukan menjadi pelayan masyarakat.

Di hadapan uang, yang instan bukan saja mie gelas tetapi juga gelar. Luar bias ajika fenomena semacam ini berkembang menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi kebudayaan. Lalu untuk apa kita sekolah susah-susah kalau gelar saja bisa diobral murah?

Dampak Terhadap Akademisi Sejati

Bagi mereka yang benar-benar menekuni jalur pendidikan doktoral dengan segala tantangannya, fenomena ini merupakan pukulan telak. Mendapatkan gelar doktor yang sejati membutuhkan waktu, usaha, dan pengorbanan besar, baik fisik maupun mental. Bahkan yang tragis, saking kerasnya berusaha banyak dosen yang berjuang menyelesaikan S3-nya "lebih dulu" menyelesaikan tugas yang diberikan Sang Pemilik Kehidupan daripada dosen pembimbingnya. Karena banyak begadang untuk menyelesaikan disertasi, menjelang langkah terakhir hidupnya berakhir sebelum ia benar-benar mengakhiri disertasinya.

Para akademisi model ini menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan penelitian yang valid, menulis disertasi yang berkualitas, serta menghadapi proses evaluasi dan kritik dari para penguji yang kompeten. Bagi mereka, gelar doktor adalah hasil dari kerja keras dan dedikasi, bukan sekadar label untuk meningkatkan status sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun