Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aroma yang Hilang

14 Oktober 2024   10:46 Diperbarui: 14 Oktober 2024   10:53 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi hasil olahan GemAIBot, dokpri)


Namanya Rendi. Ia dikenal sebagai pembuat kopi terbaik di desa itu. Setiap pagi, aroma kopi Rendi menguar dari warung kecilnya, menarik perhatian setiap penduduk yang lewat. Dalam secangkir kopi, Rendi tak hanya menyajikan minuman, tetapi juga harapan dan cerita bagi mereka yang datang.

Namun, di balik kehangatan aroma kopi, terdapat permasalahan yang mengganggu ketenangan desa. Para petani mengalami kesulitan karena harga kopi terus merosot. Mereka merasa terjebak dalam lingkaran kemiskinan, bekerja keras di ladang, namun hasilnya tidak sebanding. Rendi menyaksikan perjuangan teman-teman petaninya, tetapi dia juga merasakan dampaknya pada usahanya.

Suatu sore, Rendi memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan para petani di warungnya. Ia ingin mencari cara untuk mengatasi krisis ini. Saat semua berkumpul, Rendi dengan semangat berkata, "Kita harus bersatu! Kita bisa meningkatkan kualitas kopi kita agar bisa dijual dengan harga yang lebih baik."

"Memang, itu ide yang bagus," sahut Pak Darno, seorang petani tua. "Tapi bagaimana kita bisa bersaing dengan kopi dari luar desa yang harganya lebih murah?"

Rendi berpikir sejenak. "Kita bisa memanfaatkan keunikan kopi kita. Kita punya kopi dengan cita rasa khas. Mari kita kemas dengan baik dan ceritakan kisah petani di baliknya. Kita bisa menjualnya secara online."

Diskusi itu berlangsung hingga malam. Semangat baru mengalir dalam diri para petani. Mereka mulai berkolaborasi dengan Rendi, belajar cara merawat biji kopi dengan baik, dan merancang kemasan yang menarik. Dalam beberapa bulan, kualitas kopi mereka meningkat, dan pesanan mulai berdatangan.

Namun, di tengah kesuksesan itu, Rendi merasakan perubahan yang aneh. Aroma kopi yang biasa mengisi warungnya kini terasa berbeda. Dia merasa kehilangan makna dari setiap cangkir kopi yang disajikannya. Ia menyadari, di balik upaya memperbaiki keadaan, para petani mulai melupakan nilai kebersamaan dan kehangatan yang dulunya menyatukan mereka.

Suatu pagi, saat Rendi tengah menyeduh kopi, ia mendapati pesan misterius dalam kotak pesanan. "Kamu telah menjual jiwa kopimu untuk keuntungan. Berhati-hatilah, Rendi." Rendi terkejut dan merasa terancam. Ia pun membagikan pesan itu kepada para petani, tetapi mereka hanya menanggapinya sebagai lelucon.

Hingga suatu hari, desa dikejutkan oleh berita mengejutkan: seorang petani ditemukan meninggal di ladangnya, dan kopi hasil panennya hilang. Rendi bergegas ke lokasi dan melihat suasana panik. Para petani bersatu, tetapi ada ketegangan di antara mereka. Mereka mulai saling menyalahkan, tidak tahu siapa yang dapat dipercaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun