Bubur Rindu Tanpa Kuah
"Aroma bubur yang mengepul di mangkuk itu seolah-olah menguapkan masa lalu, mengirimkan Beni kembali ke waktu ketika setiap Minggu pagi adalah ritual hangat bersama Ayah. Di sudut kedai yang kini mulai pudar warnanya, ia merasakan kenangan menyeruak seperti taburan bawang goreng di atas bubur, renyah dan menghidupkan sesuatu yang telah lama terkubur di dalam hati."
Beni duduk termenung di sebuah bangku kayu panjang, tepat di sudut kedai bubur tua yang terletak di pojok jalan sempit. Meja kayu di depannya penuh coretan bekas lelehan lilin, seolah-olah waktu meninggalkan jejak di sana. Di hadapannya, semangkuk bubur ayam mengepul dengan aroma gurih yang memanggil, melambai lembut seperti panggilan dari masa lalu. Sesendok demi sesendok, bubur itu masuk ke mulutnya, terasa lebih dari sekadar butiran nasi dan kuah kaldu; ia membawa Beni melintasi lorong waktu, ke sebuah tempat yang sudah lama tak ia kunjungi.
Dulu, setiap Minggu pagi, Beni kecil dan Ayahnya selalu datang ke kedai ini. Mereka sudah menjadikannya rutinitas yang tak tertulis, tetapi begitu sakral. Mereka memesan dua mangkuk bubur ayam dengan topping lengkap: telur setengah matang, cakwe, seledri, dan taburan bawang goreng yang renyah. Ayah selalu menambahkan banyak kecap manis dan sambal merah, sementara Beni lebih suka buburnya tanpa tambahan apa-apa. "Bubur itu seperti hidup, Bi," kata Ayah suatu hari. "Kadang ada yang suka tambah rasa macam-macam, kadang ada yang lebih suka apa adanya."
Setiap suapan adalah pengingat kehangatan dan canda tawa yang dulu hadir di sela-sela pembicaraan mereka. Ayah selalu menceritakan kisah-kisah menarik tentang masa kecilnya di desa, tentang main layangan di sawah, dan tentang bubur jagung buatan nenek yang kental dan manis. Beni tidak pernah bosan mendengar kisah yang sama diulang-ulang; baginya, suara Ayah saat bercerita adalah lagu yang selalu ia rindukan.
Tapi, semua berubah ketika Ayah jatuh sakit dan akhirnya meninggal setahun kemudian. Minggu pagi tak pernah lagi sama bagi Beni. Ia berhenti datang ke kedai bubur itu. Baginya, tempat itu terlalu penuh kenangan, terlalu berat untuk ditelan. Sementara hidup terus berlanjut, rutinitas sarapan bubur pun tertelan oleh waktu, menghilang begitu saja tanpa sisa.
Hari ini, setelah bertahun-tahun berlalu, langkah kaki Beni secara tak sengaja membawanya kembali ke kedai itu. Tampilannya nyaris tak berubah; cat dinding yang mulai memudar, aroma kayu tua bercampur dengan bau kaldu ayam yang masih menguar dari dapur. Hanya penjaga kedainya yang berbeda; seorang pria paruh baya menggantikan kakek pemilik lama yang entah ke mana. Namun, ada sesuatu yang tetap sama di sini: mangkuk bubur di depannya, dan memori yang kembali menyeruak, mengisi kekosongan yang sudah lama ia biarkan.
Saat menyuap bubur ke mulut, kenangan lama seolah kembali hidup. Beni merasakan kehangatan yang sama, meskipun Ayah tak lagi ada di sampingnya. Ia menatap mangkuk buburnya, mendapati sesuatu yang aneh. Rasa bubur ini memang mirip, namun ada sesuatu yang berbeda, seperti ada sentuhan lain yang tak ia kenali. Mungkin karena bubur ini tak lagi disajikan dengan tangan-tangan yang sama, atau mungkin karena lidahnya telah berubah seiring waktu. Tapi, ada hal yang lebih menggangu: mengapa ia kembali ke sini hari ini? Kenangan itu seolah punya caranya sendiri untuk menuntunnya kembali.
"Mas Beni?" Suara lembut mengejutkannya. Ia menoleh, melihat seorang wanita yang berdiri di dekat mejanya. Matanya tampak akrab, meski wajah itu sudah lebih dewasa dari yang ia ingat.
"Rina?" Beni akhirnya mengenali wanita itu. Mereka dulu teman kecil yang sering bermain bersama saat Ayah membawa Beni ke kedai bubur ini. Rina adalah cucu pemilik kedai yang lama. Seingat Beni, Rina dan keluarganya pindah ke luar kota bertahun-tahun lalu.
"Iya, ini aku," jawab Rina sambil tersenyum kecil. "Kedai ini sudah lama dijual ke orang lain, tapi aku tetap suka mampir setiap kali pulang. Rasanya banyak kenangan di sini, ya?"