Nasi Sudah Menjadi Bubur,
Meracik Kebersamaan dan Kearifan Lokal Melalui Semangkuk Bubur
Â
Saya ingin mengawali tulisan tentang bubur ini dengan sebuah pengalaman lucu yang berkaitan dengan bubur. Putra pertama kami (sekarang kelas XI) sejak kecil tidak suka makan bubur. Tetapi jika sedang tidak enak badan seperti sedang flu atau batuk, dia akan meminta makan bubur karena katanya tidak perlu kunyah. Karena kalau kunyak akan membuatnya semakin batuk.
Jika tiba-tiba dia meminta makan bubur, kami langsung tahu dia sedang merasa tidak enak badan, sedang demam atau sedang flu. Saat membeli bubur akan ada lauk berupa ayam dan telur. Kedunya harus dibeli semua, biar lekas sembuh. (logika anak tentang bubur memang beda hehe)
Sedangkan adiknya yang kedua (sekarang kelas V) kalau mengalami seperti sang kakak, cukup makan bubur yang dibuat istri, atau minta makan soto (buatan mama). Katanya kalau buatan mama lekas bikin sembuh dari flu atau demam.
Tulisan berikut ini tidak persis berkaitan dengan apa yang dicontohkan. Tetapi lebih berusaha memaknai secara positif ungkapan "Nasi sudah menjadi bubur."
Ungkapan ini sering kali diartikan sebagai gambaran situasi yang tidak dapat diubah. Namun jika dilihat dari sudut pandang yang lebih positif, bubur justru memiliki potensi tersendiri. Seperti halnya dalam kehidupan, meskipun keadaan terkadang tak sesuai dengan rencana, kita tetap bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang baik dan bermakna.
Bubur, yang awalnya sekadar nasi yang dimasak hingga lembut, berubah menjadi hidangan lezat ketika diberi sentuhan bumbu dan bahan-bahan lokal. Dari sini, bubur tidak hanya menjadi makanan, tetapi juga lambang kreativitas, kebersamaan, dan kearifan lokal.
Keanekaragaman Bubur di Nusantara: Merayakan Kekayaan Rasa dan Budaya
Indonesia terkenal dengan keanekaragaman kulinernya, dan bubur adalah salah satu contohnya. Setiap daerah di Nusantara memiliki jenis buburnya sendiri yang khas, mulai dari bubur ayam yang sering disajikan dengan suwiran ayam, cakwe, dan kerupuk, hingga bubur Manado (Tinutuan) atau dalam bahasa lokal Bajawa (Flores) Tabha yang kaya akan sayuran dan protein lokal.Â
Bubur tidak hanya lezat, tetapi juga mencerminkan kekayaan alam dan budaya setempat. Misalnya, bubur sumsum yang manis sering disajikan dengan kuah gula merah, sementara bubur kacang hijau menjadi favorit banyak orang untuk sarapan atau camilan sore.
Keberagaman bubur ini tak hanya soal rasa, tetapi juga nilai-nilai budaya yang melekat di dalamnya. Setiap bahan dan cara penyajiannya merupakan cerminan adaptasi kuliner yang kaya, memanfaatkan hasil alam yang melimpah di daerah masing-masing. Di Manado, bubur Tinutuan memadukan sayuran lokal seperti jagung, kangkung, dan daun gedi, menunjukkan hubungan erat antara makanan dan lingkungan.Â