Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Rumah Tempat Ternyaman untuk Pulang dari Kekerasan di Luar

10 Oktober 2024   21:15 Diperbarui: 10 Oktober 2024   22:20 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Rumah, Tempat Ternyaman untuk Pulang dari Kekerasan di Luar

Mari kita mengawali tulisan ini dengan beberapa contoh kasus. Salah satu kasus kekerasan akibat bullying yang berujung maut terjadi di Indonesia pada tahun 2024. 

Kasus ini melibatkan seorang siswi SMK di Bandung yang mengalami gangguan jiwa akibat perundungan terus-menerus yang dialaminya. Bullying yang dialami tidak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga secara psikologis yang serius. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya peningkatan kekerasan terhadap anak, terutama di lingkungan sekolah. Bahkan, sebanyak 35% dari kasus kekerasan pada anak terjadi di sekolah sepanjang awal tahun 2024 (https://metro.tempo.co)

Kasus bullying yang menyita perhatian terjadi di sebuah sekolah di Balikpapan pada awal 2024. Seorang siswa SMP menjadi korban pengeroyokan oleh teman-teman sekelasnya. Kasus ini menjadi viral setelah video kekerasan yang dialami korban beredar melalui pesan berantai di media sosial. Korban dijambak, dipukul, dan bajunya ditarik oleh beberapa pelaku yang mengelilinginya. 

Meskipun kasus ini akhirnya diselesaikan melalui mediasi antara sekolah, orang tua, dan kepolisian, kejadian tersebut menunjukkan dampak serius dari bullying di lingkungan sekolah, yang sering kali tidak terdeteksi oleh pihak sekolah sebelum viral di media sosial. (https://tirto.id/). 

Kekerasan di Luar: Ancaman yang Mengintai

Rumah sering kali dipandang sebagai tempat terindah dan teraman, di mana setiap anggota keluarga dapat kembali setelah menghadapi berbagai tantangan hidup. 

Ketika keluar rumah, kita selalu membawa harapan untuk pulang, membawa kebahagiaan, kedamaian, atau bahkan keresahan. Namun, ada kalanya dunia luar tidak selalu bersahabat. 

Kekerasan, perundungan, dan tekanan sering kali menjadi bagian dari realitas yang harus dihadapi oleh setiap individu, baik itu di lingkungan kerja, sekolah, maupun pergaulan sosial. 

Pada saat itulah, rumah menjadi pelabuhan aman, tempat kita dapat berlindung dan mendapatkan kekuatan kala anggota rumah (khususnya anak-anak) mengalami kekerasan.

Kekerasan di luar rumah, baik dalam bentuk fisik, verbal, maupun psikologis, sering kali datang tanpa diduga. Di tempat kerja, seorang istri bisa saja menghadapi perundungan dari rekan kerja, atau suami mengalami tekanan yang luar biasa dari atasan. 

Sementara itu, di sekolah, anak-anak mungkin menjadi korban perundungan dari teman-temannya. Pengalaman ini dapat membuat seseorang merasa tidak berdaya dan kehilangan harapan. (lihat contoh kasus di atas)

Dalam konteks seperti ini, rumah menjadi tempat terindah untuk pulang. Bagi seorang istri yang dibully di tempat kerjanya, rumah adalah tempat di mana suami mendengarkannya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. 

Bagi suami yang terbebani oleh pekerjaan berat, istri dan anak-anaknya menanti dengan pelukan hangat dan dukungan. Dan bagi anak-anak yang dirundung di sekolah, rumah dan para guru yang peduli menjadi tempat yang aman untuk mengungkapkan perasaan dan meminta bantuan.

(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Pulang: Kekuatan dalam Keluarga

Pulang ke rumah bukan sekadar tindakan fisik, melainkan simbol dari kembalinya seseorang ke lingkungan di mana ia merasa didengar, dipahami, dan dicintai. 

Bagi anak-anak, orang tua memainkan peran penting sebagai tempat berlindung dan pembimbing yang siap mendengarkan. Bagi orang dewasa, pasangan hidup menjadi penopang yang memberikan rasa nyaman dan keamanan setelah menghadapi tekanan di luar.

Menurut Dr. John Bowlby, seorang ahli psikologi perkembangan, ikatan emosional antara orang tua dan anak sangatlah penting. Teori attachment yang dikembangkannya menunjukkan bahwa ikatan yang kuat dan penuh kasih sayang dalam keluarga akan memberikan anak rasa aman dan percaya diri. 

Hal ini memungkinkan mereka untuk menghadapi tantangan di luar rumah dengan lebih baik. Begitu pula bagi pasangan suami istri, komunikasi yang terbuka dan saling dukung menciptakan ruang yang aman untuk saling berbagi dan menemukan solusi bersama.

Kekerasan yang Tak Boleh Dipendam

Salah satu KESALAHAN yang sering terjadi ketika seseorang mengalami kekerasan atau perundungan di luar rumah adalah memendam perasaan tersebut. 

Banyak orang merasa MALU ATAU TAKUT untuk mengakui bahwa mereka menjadi korban, baik di tempat kerja maupun di sekolah. Namun, tindakan memendam hanya akan memperburuk keadaan. 

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu, baik itu anak-anak maupun orang dewasa, untuk segera pulang ke rumah dan mengungkapkan apa yang mereka alami.

Psikolog klinis, Dr. Sherrie Campbell, menekankan pentingnya komunikasi dalam keluarga. Menurutnya, keluarga yang sehat adalah keluarga yang memungkinkan setiap anggotanya merasa aman untuk berbicara secara jujur tentang apa yang mereka alami tanpa takut dihakimi. 

Orang tua, dalam hal ini, memiliki peran yang sangat penting untuk selalu mendengarkan anak-anak mereka dengan penuh perhatian dan tanpa prasangka.

 "Ketika anak-anak merasa didengarkan oleh orang tua mereka, mereka cenderung lebih terbuka dalam mengungkapkan masalah yang mereka hadapi, termasuk kekerasan yang mungkin mereka alami di sekolah," jelasnya.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Guru sebagai Tempat Pulang di Sekolah

Selain orang tua, guru juga dapat berperan sebagai tempat pulang bagi anak-anak yang mengalami kekerasan di luar rumah, terutama di sekolah. Guru yang peduli dan peka terhadap keadaan emosional siswa dapat menjadi figur pelindung dan pendengar yang baik. 

Menurut pendapat ahli pendidikan, Dr. Sugata Mitra, hubungan emosional antara guru dan siswa sangat penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman. Guru harus dapat mengenali tanda-tanda perundungan dan kekerasan yang mungkin dialami siswa dan mendorong mereka untuk berbicara.

Sebagai pendidik, guru harus memberikan rasa aman kepada siswa, menanamkan nilai-nilai kejujuran dan keberanian untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan. 

Di saat itulah, guru bisa menjadi 'rumah kedua' bagi anak-anak di sekolah, tempat di mana mereka merasa nyaman untuk berbagi tanpa rasa takut.

Kesimpulan

Rumah adalah tempat terindah dan teraman untuk pulang setelah menghadapi berbagai bentuk kekerasan di luar. Setiap anggota keluarga, baik itu anak-anak, istri, maupun suami, memiliki hak untuk didengarkan dan dipahami. 

Melalui dukungan emosional yang kuat dari keluarga dan guru, individu dapat pulih dari pengalaman buruk yang mereka alami di luar rumah dan mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan hidup.

Sebagai orang tua dan guru, penting untuk selalu memberikan ruang bagi anak-anak untuk berbicara, karena komunikasi yang terbuka adalah kunci untuk melindungi mereka dari dampak buruk kekerasan di luar rumah. 

Jadikan rumah kita sebagai tempat yang paling dirindukan untuk pulang tempat seluruh isi keluarga memberi dan menerima perhatian dan cinta kasih.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun