Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Seni Memancing, Melatih Kesabaran dan Harapan

8 Oktober 2024   08:33 Diperbarui: 8 Oktober 2024   16:41 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Watusaja di Malapedho, Inerie, saksi sejarah penulis hampir tenggelam, dokpri)

Seni Memancing: Melatih Kesabaran dan Harapan

Di tepi sungai yang tenang atau di tengah lautan luas, memancing bukan hanya tentang menunggu ikan menyambar umpan. Lebih dari itu, memancing adalah sebuah seni --- seni melatih kesabaran dalam ketidakpastian, dan seni menjaga harapan meskipun hasil belum tentu terlihat. Setiap lemparan pancing membawa harapan baru, dan setiap detik yang berlalu tanpa hasil menguji ketenangan jiwa. Bagi mereka yang memahami kedalaman aktivitas ini, memancing mengajarkan pelajaran berharga tentang kehidupan: bahwa sukses bukan hanya soal hasil, melainkan bagaimana kita menikmati proses, mengelola ekspektasi, dan terus berharap di tengah ketidakpastian.

Sebuah Nostalgia tentang Laut dan Renang

Sebuah pengalaman tak terlupakan. Saat itu tahun 1983, saya masih kelas 3 SD di pantai selatan Kabupaten Ngada, di bawah kaki Gunung Inerie. Saya masih ingat persis.

Hari itu liburan sekolah. Karena sedang surut, saya membawa alat-alat pancing dan umpan ke sebuah batu yang cukup besar. Saya duduk di situ sambil memancing.

Terlalu asyik memancing saya tidak memperhatikan kalau air sudah mulai pasang, dan batu setinggi dua meter lebih sudah tinggal setelah meter lagi yang kelihatan. Lainnya sudah terendam air. Saya panik karena belum bisa berenang.

Air lautnya semakin pasang dan sudah menutupi setengah batu. Saya melihat daratan semakin jauh. Saya berdiri panik di atas batu besar bagai sedang di atas perahu di tengah laut. Terus terang saya saat itu belum bisa berenang dalam arti melebihi 10 meter.

Selebihnya saya sudah tidak sanggup, karena yang pasti akan semakin banyak meminum air laut. Kaki masih belum selincah teman-teman sekelas saya yang sejak kecil akrab dengan laut, sedangkan saya anak pindahan yang baru mengenal laut dari namanya saja (Laut Sawu) dan belum terbiasa melihat apalagi berenang.

Kepanikan dan ketakutan semakin kuat. Air mata berderai sambil memanggil-manggil nama mama dan bapak. Saya takut tenggelam seorang diri. Saya tidak boleh tenggelam di sini. Saya harus bisa sampai ke daratan.

Maka segeralah saya meninggalkan tali pancing saya dan empat ikan yang sudah saya dapat. Saya berjalan hilir mudik di atas batu itu dengan air mata yang semakin deras berguguran...

Saya mencoba untuk tenangkan diri..melihat pantai yang sudah berjarak lebih dari 50 meter. Saya mencoba memperhatikan batu-batu yang agak besar supaya nanti bisa saya jadikan pijakan kaki.

Batu-batu itu penuh karang yang tajam. Lalu ketika saya makin tenang, dengan menarik nafas panjang saya melompat dan mulai berenang ke arah batu di belakang batu besar itu.

(Watusaja di Malapedho, Inerie, saksi sejarah penulis hampir tenggelam, dokpri)
(Watusaja di Malapedho, Inerie, saksi sejarah penulis hampir tenggelam, dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun