Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Seni Memancing, Melatih Kesabaran dan Harapan

8 Oktober 2024   08:33 Diperbarui: 8 Oktober 2024   16:41 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memancing (Sumber: Pixabay/alper_eral)

Seni Memancing: Melatih Kesabaran dan Harapan

Di tepi sungai yang tenang atau di tengah lautan luas, memancing bukan hanya tentang menunggu ikan menyambar umpan. Lebih dari itu, memancing adalah sebuah seni --- seni melatih kesabaran dalam ketidakpastian, dan seni menjaga harapan meskipun hasil belum tentu terlihat. Setiap lemparan pancing membawa harapan baru, dan setiap detik yang berlalu tanpa hasil menguji ketenangan jiwa. Bagi mereka yang memahami kedalaman aktivitas ini, memancing mengajarkan pelajaran berharga tentang kehidupan: bahwa sukses bukan hanya soal hasil, melainkan bagaimana kita menikmati proses, mengelola ekspektasi, dan terus berharap di tengah ketidakpastian.

Sebuah Nostalgia tentang Laut dan Renang

Sebuah pengalaman tak terlupakan. Saat itu tahun 1983, saya masih kelas 3 SD di pantai selatan Kabupaten Ngada, di bawah kaki Gunung Inerie. Saya masih ingat persis.

Hari itu liburan sekolah. Karena sedang surut, saya membawa alat-alat pancing dan umpan ke sebuah batu yang cukup besar. Saya duduk di situ sambil memancing.

Terlalu asyik memancing saya tidak memperhatikan kalau air sudah mulai pasang, dan batu setinggi dua meter lebih sudah tinggal setelah meter lagi yang kelihatan. Lainnya sudah terendam air. Saya panik karena belum bisa berenang.

Air lautnya semakin pasang dan sudah menutupi setengah batu. Saya melihat daratan semakin jauh. Saya berdiri panik di atas batu besar bagai sedang di atas perahu di tengah laut. Terus terang saya saat itu belum bisa berenang dalam arti melebihi 10 meter.

Selebihnya saya sudah tidak sanggup, karena yang pasti akan semakin banyak meminum air laut. Kaki masih belum selincah teman-teman sekelas saya yang sejak kecil akrab dengan laut, sedangkan saya anak pindahan yang baru mengenal laut dari namanya saja (Laut Sawu) dan belum terbiasa melihat apalagi berenang.

Kepanikan dan ketakutan semakin kuat. Air mata berderai sambil memanggil-manggil nama mama dan bapak. Saya takut tenggelam seorang diri. Saya tidak boleh tenggelam di sini. Saya harus bisa sampai ke daratan.

Maka segeralah saya meninggalkan tali pancing saya dan empat ikan yang sudah saya dapat. Saya berjalan hilir mudik di atas batu itu dengan air mata yang semakin deras berguguran...

Saya mencoba untuk tenangkan diri..melihat pantai yang sudah berjarak lebih dari 50 meter. Saya mencoba memperhatikan batu-batu yang agak besar supaya nanti bisa saya jadikan pijakan kaki.

Batu-batu itu penuh karang yang tajam. Lalu ketika saya makin tenang, dengan menarik nafas panjang saya melompat dan mulai berenang ke arah batu di belakang batu besar itu.

(Watusaja di Malapedho, Inerie, saksi sejarah penulis hampir tenggelam, dokpri)
(Watusaja di Malapedho, Inerie, saksi sejarah penulis hampir tenggelam, dokpri)

Dengan segala daya dan gaya saya terus berenang. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, karena ketakutan saya lalu sembarang menggerakkan kaki, dan...naas telapak kaki saya menginjak sebuah karang. Terasa perih. Tidak peduli. Rupanya air belum sungguh menutup batu kecil itu, sehingga saat saya mendarat di atasnya dada saya tergores karang tajam lagi.

Lagi-lagi saya tidak peduli. Di antara rasa takut dan rasa sakit dari telapak kaki dan dada saya berdiri di atas batu kecil itu. Dadaku memerah karena darah, air mata semakin deras mengalir bercampur asinnya air laut.

Sembari menarik nafas lebih dalam saya harus berenang lagi ke arah pantai. Yang ada dalam pikiran hanyalah segera tiba di pantai. Dan ketika kaki saya sudah bisa berdiri lagi dengan air sebatas dada, saya merasa lega dan tertawa sembil terus menangis.

Menangis kali ini lebih karena rasa nyeri di telapak kaki dan dada yang tersobek oleh karang.

Pengalaman itu tidak membuatku kapok. Di lain hari saya lebih ada persiapan, membawa jerigen sebesar 5-10 liter (tanpa air dan memiliki tutup supaya air tidak masuk) atau batang pisang (kurang lebih 50 cm).

Jerigen itu saya pakai sebagai pelampung untuk berenang ke pinggir, sedangkan ikan hasil pancing dan alat pancing saya simpan dalam plastik dan diikat pada gagang jerigen dan ditarik bersama saat renang ke pinggir. Semakin lama semakin bisa renang, saya tidak takut lagi jika tidak membawa alat pelampung (jerigen dan batang pisang).

Tulisan di atas hanyalah sebuah awalan untuk membantu saya memaknai seni memancing dalam hidup ini. Ada banyak aspek yang bisa dipelajari dari memancing. Salah duanya adalah melatih kesabaran dan harapan dalam ketidakpastian (akan mendapatkan ikan).

Mengelola Kesabaran dan Ekspektasi

Memancing bukan hanya tentang menunggu ikan menyambar umpan, melainkan sebuah seni dalam melatih kesabaran dan membangun harapan. Dalam setiap lemparan pancing, tersembunyi harapan akan hasil yang tidak pasti.

Ini adalah refleksi yang mendalam tentang kehidupan - bahwa tidak semua yang kita inginkan datang dengan mudah, dan sering kali kita perlu menunggu, bersabar, dan tetap berharap.

Dari perspektif psikologi, memancing bisa dianggap sebagai kegiatan yang membantu mengembangkan kemampuan mengelola ekspektasi.

Proses menunggu sambil memandang tenang atau beriaknya air memberikan ruang bagi pemancing untuk merenung dan melatih mental. Saat pancing dilemparkan, tak ada jaminan bahwa hasilnya akan segera datang.

Sama halnya dengan kehidupan, banyak hal yang tidak bisa kita percepat atau kontrol. Kita bisa melakukan yang terbaik dalam persiapan, tetapi hasilnya sering berada di luar kendali kita. Di sinilah kesabaran menjadi kunci.

Kesabaran dalam memancing bukan hanya soal menunggu dengan pasif, tetapi juga aktif mengelola ekspektasi dan tetap fokus pada proses. Ketika ikan tak kunjung menyambar, ada pilihan antara terus mencoba atau menyerah.

Pemancing yang sabar tahu bahwa kesuksesan tidak selalu instan, tetapi mereka tetap berharap dan percaya bahwa waktu yang tepat akan tiba.

Dengan setiap menit yang berlalu, ada kesempatan untuk mengasah mental agar tetap tenang, melawan rasa frustasi, dan tidak kehilangan harapan. Ini adalah pelajaran berharga dalam kehidupan sehari-hari - di mana kesuksesan sering kali memerlukan waktu, usaha, dan ketekunan.

Ruang Kehidupan: Laut dan Kolam 

Dalam memancing di laut, tantangan ini bahkan lebih terasa. Laut adalah simbol kebebasan dan ketidakpastian. Pemancing yang berlayar ke tengah lautan harus berhadapan dengan cuaca yang tidak terduga, arus yang kuat, dan ikan yang besar serta liar. 

Di sini, kesabaran dan harapan benar-benar diuji. Di tengah samudra yang luas, harapan untuk menangkap ikan besar kadang-kadang hanya seutas keinginan yang tampak jauh. Namun, bagi mereka yang memahami seni memancing, justru di situlah letak kebahagiaannya.

Dalam ketidakpastian itu, mereka menemukan makna - bahwa hidup, seperti laut, penuh misteri, dan hanya dengan kesabaran serta harapanlah kita bisa menemukan keindahan dan kepuasan.

Di sisi lain, memancing di embung atau kolam memberikan pengalaman yang lebih tenang, namun tidak kalah mendalam dalam melatih kesabaran. Di lingkungan yang lebih terkontrol, ada waktu yang lebih banyak untuk merenung. Menanti ikan di kolam, di mana airnya tenang dan suasananya damai, bisa menjadi waktu untuk meresapi setiap detik yang berlalu tanpa terburu-buru.

Ketika harapan akan tangkapan belum terwujud, ada pelajaran untuk terus berusaha tanpa kehilangan semangat. Kesabaran ini menjadi modal penting dalam kehidupan, di mana sering kali kita harus menanti hasil dari kerja keras dan doa-doa kita.

Memancing sebagai Seni Menghargai Momen

Seni menunggu dalam memancing juga erat kaitannya dengan seni menjaga harapan. Setiap kali umpan dilempar ke dalam air, harapan baru terbentuk. Meskipun pemancing tidak tahu pasti kapan ikan akan datang, mereka selalu berharap dengan penuh keyakinan. Ini adalah refleksi kehidupan yang sangat kuat.

Dalam hidup, kita sering kali melempar "umpan" berupa usaha, doa, atau harapan-harapan lain ke dalam dunia yang tidak pasti. Kita tidak tahu kapan atau apakah kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan, namun kita tetap percaya bahwa ada kemungkinan, dan kemungkinan itu cukup untuk membuat kita terus mencoba.

Memancing mengajarkan kita bahwa kesabaran dan harapan adalah dua sisi yang saling melengkapi. Tanpa kesabaran, harapan bisa berubah menjadi frustasi, dan tanpa harapan, kesabaran bisa menjadi sia-sia. Ketika kedua elemen ini disatukan, kita menemukan keseimbangan yang indah dalam menghadapi ketidakpastian hidup.

Memancing menjadi simbol dari proses ini - bahwa kehidupan adalah tentang menanti dengan sabar sambil tetap menjaga keyakinan bahwa sesuatu yang baik akan datang pada waktunya.

Pada akhirnya, memancing adalah sebuah seni yang mengajarkan kita untuk menghargai momen-momen tanpa hasil, karena di dalamnya ada pelajaran tentang diri kita sendiri. Memancing bukan hanya soal menangkap ikan, tetapi juga tentang bagaimana kita menghadapi waktu, ketidakpastian, dan harapan. 

Di setiap tarikan pancing yang kosong, ada kesempatan untuk belajar tentang kesabaran, dan di setiap lemparan yang baru, ada harapan yang terus hidup. 

Seperti dalam kehidupan, di mana keberhasilan dan kebahagiaan sering datang setelah menanti dengan sabar, memancing mengingatkan kita bahwa hasil mungkin tidak selalu langsung terlihat, tetapi prosesnya akan selalu membawa kita ke arah yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun