Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kejutan Sabtu Pertama

5 Oktober 2024   10:21 Diperbarui: 5 Oktober 2024   10:21 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi berupa olahan GemAIbot, dokpri)

Kejutan Sabtu Pertama

Di sudut remang ruang rapat yang sepi, lima orang duduk melingkar, wajah mereka tegang dan penuh pertimbangan. Hari itu Sabtu pertama setelah pengambilan sumpah anggota dewan perwakilan rutan yang baru terpilih. Seminggu sudah berlalu sejak mereka bersumpah mengembalikan hasil korupsi dan berjanji menjaga integritas. Tetapi, bisik-bisik tak sedap sudah mulai terdengar. Bisnis ilegal.

Sebenarnya bukan benar-benar ilegal. Semua yang mereka jalankan sah di mata hukum -sampai mereka menandatangani pakta integritas yang menyatakan mereka tak boleh merangkap jabatan atau terlibat dalam tender apapun.

"Kalau kita ikut tender, semua bakal mencium jejaknya," kata Herman, anggota dewan yang tampak paling gelisah. "Media pasti akan mengorek-ngorek. Apa kita siap kalau terbongkar?"

"Siap atau nggak, kita sudah terlalu dalam. Modal kita jadi anggota dewan ini gede, Man," jawab Dodi, sambil mengetukkan jarinya ke meja. "Nggak bisa balik modal cuma dari gaji. Gaji kita kecil kalau dibandingkan investasi awal kita buat kampanye."

Dua lainnya, Siti dan Arman, mengangguk dalam diam, setuju namun tak mau ikut bicara dulu. Angin dari kipas angin tua menghempas ke wajah mereka yang berkeringat, menciptakan keheningan yang menyesakkan.

"Bukan cuma masalah gaji, Dod," Herman menghela napas panjang. "Ini soal sumpah. Pakta integritas. Apa kita siap melanggar?"

Dodi menatap Herman dengan senyum penuh arti. "Sumpah hanya formalitas, bro. Kamu tahu sendiri, nggak ada yang beneran peduli selama kita nggak ketahuan."

"Benar," Siti akhirnya angkat bicara. "Selama kita bisa main rapi, siapa yang tahu? Kita ini pintar hukum dan tahu celahnya. Kita tahu cara menyamarkan segalanya."

Namun, Herman tidak bisa mengusir kegelisahan dalam hatinya. Ia tahu mereka semua terjebak dalam situasi yang rumit. Terpilih jadi anggota dewan adalah impian yang sudah lama ia kejar. Tetapi, modal untuk kampanye, janji-janji manis yang harus ditepati kepada para pendukungnya, semua itu membuatnya kini berada di ujung jurang moral. Ia terjebak dalam lingkaran yang sukar ditembus.

"Apa kita benar-benar sudah tidak bisa jujur?" tanya Herman tiba-tiba, memecah kesunyian. Ia ingin mencari alasan. Sekecil apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun