Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Arak-arakan di Kota Tanpa Janji

1 Oktober 2024   21:45 Diperbarui: 1 Oktober 2024   22:55 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)

Arak-Arakan di Kota 

Di Kota Pelangi itu, rakyat telah muak. Sudah bertahun-tahun, mereka mengeluh tentang janji manis yang diucapkan saat kampanye, namun berulang kali dikhianati begitu sang wakil rakyat duduk di kursi kekuasaan. Namun kali ini, rakyat memutuskan untuk bertindak berbeda. Mereka tak ingin lagi menjadi tuan baik hati yang hanya dielu-elukan setiap empat tahun sekali.

Di tengah hiruk-pikuk pasar, kabar bahwa para anggota dewan dan senator Kota Pelangi akan diarak keliling kota mulai tersebar. Gagasan itu bermula dari obrolan warung kopi, kala para warga mengungkapkan frustrasi mereka. Setiap kali hujan turun, jalanan berubah menjadi lumpur, jembatan utama yang sudah bertahun-tahun diabaikan, kini nyaris ambruk, sementara para wakil rakyat menikmati hidup mewah di ibu kota.

Maka, pada hari yang cerah di awal minggu, sebuah arak-arakan besar siap dilaksanakan. Di barisan paling depan, ada Pak Arief, seorang petani tua yang dulu menjual sawahnya untuk membiayai kampanye salah satu senator. Arief berjalan dengan penuh tekad, memegang bendera kecil dengan tulisan besar yang terbaca jelas: 

"JANJI ITU WAJIB DITEPATI".

Tepat di belakangnya, lima mobil bak terbuka berjejer rapi. Di atas mobil-mobil itu duduk anggota dewan dan senator yang baru saja terpilih tiga bulan lalu. Wajah-wajah mereka terlihat murung, sebagian tertegun tak percaya, sebagian lagi tampak ketakutan. Mereka mengenakan selempang seperti saat kampanye dulu, namun kali ini selempang mereka tak tertulis kata "pemimpin," melainkan "pengkhianat."

"Waktu kampanye, mereka datang ke rumah kita, memohon dukungan, menjanjikan perubahan. Tapi sekarang? Mereka bahkan tak pernah datang lagi," seru Ibu Wina, seorang penjual sayur, sambil berjalan di sisi barisan. Ia merasa seakan suaranya tenggelam dalam janji-janji kosong yang tak pernah ditepati.

Arak-arakan mulai bergerak, mengelilingi kota. Di setiap tikungan, semakin banyak warga yang bergabung, menabuh drum, meniup terompet, dan menyanyikan lagu-lagu protes. Ada yang membawa spanduk bertuliskan:

"JALAN RUSAK, KAMI TAK BUTUH SENYUMAN!" dan "RUMAH SAKIT PENUH, ANGGOTA DEWAN TAK PEDULI!"

(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi memakai GemAIBot, dokpri)

Sorakan semakin keras ketika rombongan melewati balai kota. Di balkon, beberapa pejabat lokal yang masih setia pada anggota dewan hanya bisa memandangi arak-arakan dengan gugup, takut jika kemarahan rakyat akan merembet ke mereka.

"Tak bisa dipercaya!" seru salah satu senator, Bu Dewi, yang selama ini dikenal sebagai salah satu politikus yang paling pandai bicara. "Kami dipermalukan di depan seluruh kota! Rakyat sudah gila!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun