Panggung di Negeri Orang
Rama menghabiskan sebagian besar sore harinya di depan layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, berusaha keras menyelesaikan proyek editan video yang sudah hampir dua minggu terbengkalai. Sebagai YouTuber lokal, ia sudah terbiasa mengedit video hingga larut malam, mengorbankan waktu tidurnya demi mencapai kualitas yang ia harapkan. Namun, meski sudah berusaha sekeras mungkin, angka-angka di belakang videonya tidak pernah melonjak.
"Views segini lagi, segini lagi," keluhnya, memandangi monitor dengan wajah lesu.
Di seberang meja, Fikri, sahabat sekaligus rekan kolaborasi Rama, asyik menonton live streaming YouTuber asing yang tengah viral di Indonesia, IShowSpeed. Dalam layar kecil di pojok Fikri, terlihat sang YouTuber sedang berlari-lari di sekitar Monas, mengajak orang-orang yang tak dikenalnya untuk berinteraksi. Ratusan ribu orang sedang menontonnya secara langsung.
"Dia baru sehari di Jakarta, langsung trending nomor satu di YouTube," kata Fikri, tanpa menoleh dari layar ponselnya.
Rama tersenyum pahit. Ia tidak membenci IShowSpeed atau YouTuber asing lainnya, tapi hatinya dipenuhi keprihatinan yang mendalam. "Kenapa mereka bisa begitu cepat diterima di sini, ya? Padahal kita yang asli sini malah seolah tidak dianggap."
Fikri menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap sahabatnya. "Mungkin karena mereka punya sudut pandang yang baru. Orang kita suka hal-hal yang unik, beda dari apa yang biasa kita lihat sehari-hari."
"Tapi kenapa harus sampai seperti itu?" tanya Rama. "Mereka datang ke sini, buat konten sambil tertawa-tawa, dan kita -netizen Indonesia- langsung menyambutnya seperti pahlawan. Sementara kita sendiri, yang jelas-jelas tahu lebih banyak tentang budaya dan tempat ini, malah sulit mendapatkan pengakuan."
Fikri tersenyum kecil. "Netizen Indonesia itu kan terkenal fanatik. Mereka suka mengikuti tren. Dan tren saat ini adalah mendukung YouTuber asing."
Rama terdiam sejenak. Kalimat Fikri mengingatkannya pada perbincangan di sebuah grup komunitas YouTuber lokal yang dia ikuti. Ada seorang kreator muda yang baru-baru ini mengatakan bahwa "orang Indonesia lebih suka mengekor daripada menciptakan tren." Komentar itu menyulut debat panas di grup, namun semakin lama Rama merenungkannya, semakin masuk akal.
"Mungkin kita sudah terlalu nyaman menjadi penonton, bukan pemain," gumam Rama, lebih pada dirinya sendiri.