Memahami Cara Bicara Pejabat Melalui Pendekatan Derrida: Dekonstruksi Bahasa Kontradiktif
Beberapa tahun belakangan ini kita sering menjumpai adanya ketidaksesuaian antara ucapan dengan kenyataan atau yang terjadi setelahnya. Banyak contoh akan hal itu misalnya soal keterlibatan anak-anak dalam politik, silang pendapat antarmenteri dan antarlembaga terhadap sebuah persoalan yang sama (misalnya, https://nasional.kompas.com/read/2020/07/18/07045001/melihat-lagi-komentar-jokowi-soal-anaknya-terjun-ke-politik?page=all#google_vignette, https://www.detik.com/sumut/berita/d-7159000/pembelaan-anak-dan-menantu-usai-jokowi-bilang-presiden-boleh-kampanye-memihak, https://ekonomi.bisnis.com/read/20240713/44/1781961/beda-pendapat-para-menteri-jokowi-soal-bbm-subsidi-per-17-agustus-2024, dan masih banyak yang lainnya).
Kali ini saya mencoba untuk melihat dinamika "pagi kedelai sore tempe" ini di kalangan pejabat dengan meminjam "pisau cukurnya" Jacques Derrida tentang dekonstruksi. Apalagi menjelang pilkada ini akan banyak "bahasa jualan yang menarik bagai kecap terenak yang bisa menyebabkan diabetes karena konsumsi yang berlebihan" sehingga warga "dibuat" seolah-olah percaya bahwa yang disampaikan itu bisa dipenuhi jika terpilih nantinya.
[Jacques Derrida (1930--2004) adalah seorang filsuf Prancis yang dikenal sebagai bapak dekonstruksi, sebuah pendekatan filosofis dan metode kritik yang bertujuan untuk membongkar atau mengurai asumsi-asumsi yang tersembunyi di balik struktur teks dan pemikiran. Teorinya memiliki pengaruh besar dalam bidang filsafat, sastra, hukum, linguistik, dan kritik budaya.]
Dalam analisis Jacques Derrida, bahasa bukanlah alat yang stabil dan transparan. Sebaliknya, bahasa selalu terbuka untuk berbagai interpretasi, dan setiap ungkapan sering kali membawa kontradiksi internal. Ketika kita menggunakan dekonstruksi untuk memahami cara bicara pejabat---khususnya yang sering kali kontradiktif antara pernyataan dan kenyataan---kita tidak hanya berusaha melihat apa yang dikatakan, tetapi juga menggali makna yang tersembunyi dan lapisan ambigu yang membentuk pesan tersebut.
Dekonstruksi: Membedah Bahasa Pejabat
Derrida mengajarkan bahwa tidak ada makna tunggal yang tetap dalam bahasa. Setiap kata, frasa, atau pernyataan memiliki lapisan makna yang bisa saling bertentangan. Oleh karena itu, pernyataan pejabat yang tampak kontradiktif bisa dilihat sebagai refleksi dari ketidakpastian makna dan kepentingan tersembunyi yang bermain di balik kata-kata mereka.
1. Ambiguitas yang Dibawa oleh Bahasa
Dalam pendekatan dekonstruksi, kita memahami bahwa bahasa selalu berpotensi menghasilkan makna yang bertentangan. Ketika seorang pejabat menyampaikan janji atau kebijakan, sering kali terdapat ambiguitas yang disengaja atau tidak disengaja. Ambiguitas ini bisa diartikan sebagai upaya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan sekaligus, sehingga memungkinkan pejabat untuk menghindari komitmen penuh pada satu makna atau solusi yang jelas.
Contohnya, ketika seorang pejabat menyatakan bahwa "kami akan menegakkan hukum tanpa pandang bulu," atau "anak-anak saya belum cukup umur untuk terlibat dalam politik praktis", "anak-anak saya lebiih minat bisnis daripada politik," kata-kata ini bisa diartikan sebagai janji atas keadilan yang tegas, sekarang anak saya bisa dilibatkan sebagai kesempatan untuk magang atau anak-anak saya belajar politik sambil berbisnis atau bisa dibaca sedang berbisnis politik, dsb. Namun, dalam praktiknya, kita sering melihat bahwa interpretasi atas hukum tersebut sangat bervariasi, tergantung pada siapa yang berhadapan dengan hukum. Dekonstruksi mengungkap celah antara bahasa dan kenyataan ini dengan menunjukkan bahwa makna dari pernyataan tersebut bisa berubah sesuai konteks dan kekuatan politik.
2. Permainan Tanda dan Referensi
Dalam dekonstruksi, Derrida memperkenalkan konsep bahwa bahasa selalu bekerja dalam jaringan tanda-tanda yang saling merujuk satu sama lain tanpa akhir. Tidak ada kata yang benar-benar menunjuk pada makna tunggal atau mutlak. Dalam konteks pejabat, sering kali pernyataan yang kontradiktif terjadi karena kata-kata yang mereka gunakan merujuk pada berbagai konteks, ideologi, dan situasi yang berbeda.
Sebagai contoh, ketika pejabat berbicara tentang "kemajuan pendidikan" dan pada saat yang sama memotong anggaran pendidikan, mereka menggunakan kata "kemajuan" yang sebenarnya mengandung referensi yang beragam. Bagi sebagian orang, kemajuan bisa berarti peningkatan fasilitas atau kurikulum, tetapi bagi yang lain, mungkin maknanya berkaitan dengan penghematan anggaran atau efisiensi sistem. Dekonstruksi membantu kita melihat bagaimana kata-kata tersebut tidak pernah benar-benar stabil dan selalu siap untuk diinterpretasikan ulang.
3. Kontradiksi Sebagai Cermin Kekuasaan
Menurut Derrida, bahasa pejabat yang kontradiktif juga mencerminkan cara kekuasaan bekerja. Kontradiksi ini sering kali menjadi alat yang efektif untuk mempertahankan fleksibilitas politik. Ketika pejabat menyampaikan pernyataan yang ambigu, mereka sebenarnya memberi ruang untuk bergerak, memungkinkan mereka untuk menyesuaikan kebijakan atau sikap sesuai dengan perubahan keadaan politik atau tekanan dari berbagai pihak.
Misalnya, dalam bidang hukum, pernyataan tentang "keadilan" dan "ketegasan hukum" sering kali digunakan secara kontradiktif untuk memuaskan berbagai pihak. Namun, di balik itu, pejabat dapat mengatur tafsir hukum untuk melayani kepentingan politik tertentu. Dekonstruksi membantu kita melihat bahwa kontradiksi bukan hanya kelemahan, tetapi juga strategi yang disengaja dalam komunikasi politik.
Jika pejabat memakai cermin cembung dalam berkata-kata, maka warga perlu melihatnya dengan cermin cekung. Karena jika sama-sama menggunakan cermin cembung hasilnya bisa beda antara yang diharapkan pejabat dengan yang diperoleh warga. Tidak perlu 100% percaya bahasa pejabat, tetapi lihatlah apa yang mereka lakukan kemudian, itulah yang sebenarnya menjadi inti penyampaian mereka.
4. Dampak Dekonstruksi Kontradiksi dalam Pelayanan Publik
Ketika bahasa pejabat penuh dengan kontradiksi, kepercayaan publik terhadap kebijakan dan pemerintahan akan terguncang. Publik yang bergantung pada kejelasan dalam kebijakan merasa kehilangan arah karena kontradiksi antara apa yang dikatakan pejabat dan kenyataan di lapangan. Misalnya, jika seorang pejabat menyatakan bahwa "pendidikan adalah prioritas utama" tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan anggaran pendidikan dipotong, masyarakat akan merasa kebingungan dan kekecewaan.
Dekonstruksi Derrida juga mengingatkan kita bahwa kontradiksi dalam bahasa pejabat bisa memperburuk ketidakpastian dalam masyarakat. Ketika publik menerima pesan yang ambigu, mereka cenderung menginterpretasikan sendiri sesuai dengan kepentingan atau pemahaman mereka. Hasilnya, implementasi kebijakan bisa menjadi tidak konsisten dan kacau, karena berbagai pihak memahami perintah yang sama secara berbeda.
5. Keterbukaan Makna: Tantangan bagi Pemerintah
Salah satu implikasi dari pendekatan dekonstruksi adalah bahwa makna bahasa pejabat selalu terbuka dan tidak pernah final. Hal ini menimbulkan tantangan bagi pemerintah, karena ketidakpastian makna dapat mengganggu pelaksanaan kebijakan yang memerlukan kejelasan dan konsistensi. Kontradiksi bahasa pejabat sering kali memaksa publik untuk menafsirkan dan meraba-raba kebijakan yang sebenarnya, yang pada akhirnya memperumit proses implementasi.
Kesimpulan: Dekonstruksi dan Tuntutan Kejelasan Bahasa Pejabat
Dengan menggunakan pendekatan Derrida, kita dapat memahami bahwa bahasa pejabat yang kontradiktif bukan sekadar kesalahan, melainkan cerminan dari dinamika kekuasaan, kepentingan yang saling bertentangan, dan ketidakstabilan makna dalam bahasa itu sendiri. Dekonstruksi mengajarkan kita untuk tidak mengambil bahasa pejabat secara literal, melainkan untuk selalu mempertanyakan dan membedah apa yang tidak diungkapkan secara eksplisit.
Namun, dalam konteks pelayanan publik, pendekatan ini mengungkap tantangan yang nyata: kejelasan dan konsistensi dalam bahasa pejabat adalah syarat utama untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan dipercaya oleh masyarakat. Ketika pejabat terus bermain dengan ambiguitas dan kontradiksi, dampaknya adalah ketidakpastian publik, berkurangnya kepercayaan, dan kegagalan dalam pelayanan. Di sinilah pentingnya bagi pejabat untuk belajar dari kritik dekonstruksi, yakni dengan menghindari kontradiksi yang merugikan dan berusaha menghadirkan kejelasan serta transparansi dalam setiap pernyataan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H