Berpegang pada Kebenaran di Tengah Penolakan
"Marilah kita menghadang orang yang baik, sebab bagi kita ia menjadi gangguan serta menentang pekerjaan kita. Pelanggaran-pelanggaran hukum dituduhkannya kepada kita, dan kepada kita dipersalahkannya dosa-dosa terhadap pendidikan kita. Coba kita lihat apakah perkataannya benar dan ujilah apa yang terjadi waktu ia berpulang. Jika orang yang benar itu sungguh anak Allah, niscaya Ia akan menolong dia serta melepaskannya dari tangan para lawannya. Mari, kita mencobainya dengan aniaya dan siksa, agar kita mengenal kelembutannya serta menguji kesabaran hatinya. Hendaklah kita menjatuhkan hukuman mati keji terhadapnya, sebab menurut katanya ia pasti mendapat pertolongan." (Kebijaksaan Salomo 2:12.17-20)
Dalam kehidupan menggereja dewasa ini, tantangan untuk mempertahankan iman semakin terasa. Sebagaimana diungkapkan dalam Kebijaksanaan 2:12.17-20, dunia sering kali menolak mereka yang berusaha hidup sesuai dengan kebenaran Tuhan. Pengaruh sekularisme, konsumerisme, dan individualisme semakin menekan nilai-nilai Kristiani. Sebagai contoh, ketika gereja bersuara mengenai perlindungan kehidupan, keadilan sosial, atau perlindungan lingkungan, sering kali muncul reaksi negatif dari masyarakat yang lebih memilih kenyamanan pribadi atau kepentingan ekonomi.Â
Namun, seperti yang sering diingatkan oleh Paus Fransiskus, kita tidak boleh takut untuk "membangkitkan hati nurani" dunia. Paus menyatakan bahwa "menjadi saksi Kristus berarti tidak takut berhadapan dengan opini publik yang seringkali berlawanan" (Evangelii Gaudium 259). Meski menghadapi penolakan, kita dipanggil untuk terus bersaksi tentang kebenaran dengan kasih dan kelembutan.
Kehidupan menggereja juga tak luput dari tantangan internal. Konflik dan perpecahan kerap kali muncul akibat perbedaan pandangan, ambisi, atau kesalahpahaman. Seperti yang disinggung dalam bacaan pertama Minggu Biasa XXIV, pada hari Minggu 21 September 2024, keangkuhan dan penolakan terhadap kebenaran dapat menjadi sumber perpecahan. Paus Fransiskus dalam ensiklik Fratelli Tutti menekankan pentingnya dialog dan persaudaraan sebagai jalan menuju perdamaian.Â
Gereja harus menjadi "rumah bagi semua orang, tempat di mana kasih Allah dirasakan dan dibagikan tanpa batas."Â Misalnya, dalam berbagai gerakan sosial gereja seperti Caritas atau kampanye lingkungan, kita diajak untuk tidak hanya berfokus pada diri sendiri, tetapi juga menjalin kerjasama demi kepentingan bersama. Dalam hal ini, kita dipanggil untuk mengatasi ego dan mengedepankan cinta kasih, sebagaimana Kristus mengajarkan kita untuk mengasihi satu sama lain tanpa pamrih.
Untuk itu, kesetiaan kepada Kristus di tengah dunia yang penuh tantangan ini memerlukan keberanian dan kesabaran. Paus Fransiskus kerap berbicara tentang martabat dari ketekunan iman, terutama ketika menghadapi penolakan atau bahkan penganiayaan. Seperti yang terjadi pada umat Kristiani di beberapa bagian dunia, yang menghadapi diskriminasi dan kekerasan karena iman mereka.Â
Namun, Paus mengingatkan kita bahwa pengikut Kristus harus tetap menjadi saksi kasih dan pengampunan. Dalam khotbahnya di Hari Perdamaian Dunia, Paus menekankan bahwa "pengampunan adalah senjata terkuat orang Kristen" dan bahwa dengan mengampuni, kita menolak siklus kebencian dan balas dendam. Dengan cara ini, melalui kesaksian hidup yang penuh kasih, kita mampu menarik hati orang-orang kepada Tuhan, bahkan di tengah penolakan dan tantangan.
Renungan ini mengajak kita untuk tidak hanya berpegang teguh pada kebenaran, tetapi juga menghidupi iman kita dengan penuh kasih, sabar, dan pengampunan -sebagai tanggapan terhadap tantangan zaman.
Selamat hari Minggu