Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Bawah Bayang-Bayang Sirene

14 September 2024   22:20 Diperbarui: 14 September 2024   22:22 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bu," suara Adi, seorang anak yang terkenal pendiam, terdengar pelan. "Saya pernah melihat ayah saya diseret polisi Malaysia." Tiba-tiba suasana menjadi hening. Semua mata memandang Adi, yang masih menunduk.

"Saat itu kami tinggal di rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Ada razia besar-besaran. Ayah tidak punya tempat untuk lari lagi, polisi sudah mengepung semua jalur keluar. Saya hanya bisa melihat dari jendela saat mereka menangkap ayah, memborgolnya, dan membawanya pergi," suara Adi bergetar. "Kami tidak bisa melakukan apa-apa, Bu. Kami hanya bisa menangis."

Guru itu menggenggam tangan Adi, memberinya kekuatan untuk melanjutkan. "Setelah itu, ayah saya dideportasi. Kami kembali ke Indonesia dengan hati yang hancur. Ayah bilang, 'Lebih baik kita pulang, daripada harus hidup dalam bayang-bayang ketakutan selamanya.'"

**

(dokpri)
(dokpri)

Banyak dari anak-anak ini telah kehilangan waktu berharga bersama orang tua mereka. Ada yang tumbuh tanpa ayah, ada yang merindukan ibunya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri seberang. Namun di balik cerita-cerita pilu ini, selalu ada harapan---harapan bahwa suatu hari mereka bisa hidup tenang, tanpa takut dikejar-kejar oleh polisi.

"Bu, saya rindu ayah saya," kata Lani, gadis kecil berambut hitam legam. "Ayah saya masih di Malaysia. Saya tidak tahu kapan dia bisa pulang. Setiap malam, saya berdoa agar dia baik-baik saja di sana."

Guru itu terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk menguatkan hati murid-muridnya. Dia tahu, di balik senyum dan tawa mereka, tersimpan luka dan kerinduan yang mendalam.

"Kalian semua adalah anak-anak yang kuat," ucapnya dengan suara lembut. "Orang tua kalian bekerja keras agar kalian bisa hidup lebih baik. Mereka melakukan ini karena cinta, meskipun mereka harus menghadapi banyak risiko. Kalian harus bangga pada mereka."

Mata anak-anak itu berkilat, bukan karena kebahagiaan, tetapi karena kesadaran akan beratnya perjuangan yang harus dihadapi oleh keluarga mereka. Beberapa dari mereka mungkin masih trauma dengan pengalaman "kucing-kucingan" dengan polisi, sementara yang lain sudah mulai menerima bahwa hidup mereka memang harus terus berjalan.

Namun, di balik cerita-cerita itu, ada satu pertanyaan besar yang selalu mengganjal: di mana negara dalam semua ini? Mengapa mereka harus hidup dalam ketakutan di negeri orang, bekerja tanpa perlindungan, dikejar-kejar polisi seperti kriminal hanya karena ingin menghidupi keluarga mereka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun