ALLAH SUMBER KEADILAN MENURUT NAHUM DAN HABAKUKÂ
Refleksi dalam Bulan Kitab Suci Nasional 2024 dan Ensiklik Paus Fransiskus
Dalam peringatan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2024, kita kembali diajak untuk merenungkan pesan-pesan mendalam dari Kitab Suci, terutama yang berkaitan dengan keadilan di tengah dunia yang tidak adil. Melalui suara dua nabi, Nahum dan Habakuk, kita disapa oleh panggilan Allah untuk menyadari bahwa Dialah sumber keadilan sejati, yang menjanjikan pemulihan di tengah penindasan dan kejahatan. Pesan ini menjadi semakin kuat dan relevan ketika kita membandingkannya dengan ensiklik Paus Fransiskus, Fratelli Tutti, yang juga berbicara tentang keadilan, persaudaraan, dan martabat manusia dalam dunia modern.
Nahum: Keadilan di Tengah Penindasan
Nabi Nahum menubuatkan kejatuhan Niniwe, pusat kekuatan Kerajaan Asyur, yang dikenal karena kekejamannya terhadap bangsa-bangsa lain. Dalam kitabnya, Nahum mengungkapkan bahwa Allah tidak akan membiarkan kezaliman berkuasa tanpa batas. Allah adalah sumber keadilan yang akan membalas penindasan dengan hukuman, dan menegakkan kebenaran bagi mereka yang tertindas. Niniwe sebagai lambang ketidakadilan dipastikan akan hancur karena dosa-dosanya.
Dalam konteks Indonesia, pesan Nahum memiliki resonansi yang kuat. Ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik sering kali menjerat mereka yang kurang beruntung. Misalnya, ketimpangan ekonomi yang mencolok, di mana sebagian kecil orang menikmati kemakmuran sementara sebagian besar lainnya berjuang memenuhi kebutuhan dasar, mengingatkan kita pada kondisi rakyat yang hidup di bawah kekuasaan Asyur. Pesan Nahum menjadi seruan harapan bagi mereka yang tertindas, bahwa Allah akan menegakkan keadilan pada waktunya.
Paus Fransiskus dalam ensikliknya, Fratelli Tutti, juga menyoroti isu ketidakadilan global. Dalam bab 2, beliau berbicara tentang bagaimana manusia dipanggil untuk mengasihi sesama tanpa membedakan suku, agama, atau status sosial. Keadilan bukan hanya tentang menghukum yang salah, tetapi juga tentang merangkul semua orang sebagai saudara dan saudari, memastikan setiap orang diperlakukan dengan martabat yang sama. Ini adalah panggilan bagi kita untuk tidak menjadi pasif di tengah ketidakadilan, melainkan menjadi agen perubahan yang memperjuangkan keadilan bagi semua orang.
Habakuk: Kesabaran dan Iman dalam Menunggu Keadilan
Sementara Nahum menyuarakan penghukuman terhadap kezaliman, Nabi Habakuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang keadilan Allah di tengah kekerasan dan penindasan. Habakuk melihat kerusakan, kejahatan, dan ketidakadilan yang tampaknya dibiarkan begitu saja, dan ia bertanya, "Mengapa Engkau diam saja ketika orang fasik menelan orang yang lebih benar daripadanya?" (Habakuk 1:13). Namun, dalam dialognya dengan Allah, Habakuk belajar bahwa keadilan Allah tidak selalu datang dengan segera, tetapi pasti akan tiba. Tuhan memanggil umat-Nya untuk tetap setia, bahkan ketika keadilan tampak jauh.
Dalam konteks Indonesia, ketidakadilan yang terjadi sering kali menimbulkan frustrasi bagi masyarakat. Korupsi yang terus merajalela, ketidakadilan hukum, dan penindasan terhadap hak-hak kelompok minoritas menjadi isu-isu yang membuat banyak orang bertanya-tanya seperti Habakuk: di manakah Allah di tengah semua ini? Namun, pelajaran dari Habakuk adalah tentang kesabaran dan iman. Allah mengundang kita untuk percaya bahwa meskipun keadilan tampaknya tertunda, itu tidak berarti Allah berpaling dari dunia ini.
Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti mengingatkan kita akan pentingnya kesabaran dan dialog dalam mencapai keadilan. Beliau menekankan bahwa "perdamaian sejati tidak hanya sekadar absennya perang, melainkan hasil dari keadilan dan pembangunan berkelanjutan yang memberi setiap orang akses ke kesejahteraan." Ini adalah refleksi dari panggilan Habakuk untuk menunggu dengan iman, percaya bahwa Allah sedang bekerja melalui upaya kolektif kita untuk menciptakan dunia yang lebih adil.