Romo Hendrik Sengga, Kesederhanaan dan Keteguhan Seorang Imam
(Berdasarkan kesaksian teman Yustin Djuang)
Siang tadi sehabis memberi pelatihan menulis feature untuk mahasiswa USD asal Flobamora di Pastoran Margasiswa Yogyakarta, saya kaget ketika membuka dan membaca berita duka di WAG angkatan tahun 1990. Yustin Djuang memposting berita duka datang mengagetkan. Romo Hendrik Sengga, PR, seorang imam di Keuskupan Maumere, telah berpulang. Ia ditemukan tak bernyawa lagi dalam kesendirian di kamarnya yang tidak terkunci. Tidak ada yang tahu sakit apa yang sedang dideritanya, tidak ada orang yang menemani dia kala berjuang antara hidup dan mati. Atau mungkin dia tertidur selamanya justru ketika sedang tidur malam sehingga tak sempat bergulat dengan sakratulmaut.
Menurut salah seorang teman romo yang ada di komunitas yang sama sudah dua hari dia tidak kelihatan di komunitas. Karena kesibukannya, para anggota komunitas mengira dia sedang melayani di luar komunitas. Dan tidak pernah menyangka dia sudah pergi selamanya.
Sosoknya yang hangat, sederhana, dan teguh dalam imamat akan selalu terpatri di hati mereka yang pernah mengenalnya. Meski perjalanan imamatnya tidak selalu mulus, Romo Hendrik menjalaninya dengan kesetiaan yang luar biasa, tanpa pernah meninggalkan panggilan hidupnya.
Romo Hendrik, atau yang akrab disapa Kae Endi oleh kami yang mengenalnya, adalah kakak dari Romo Yance Sengga, seorang teman kelas angkatan kami. Keduanya imam, tetapi dengan gaya hidup dan cara menjalankan imamat yang sangat berbeda. Kae Endi adalah sosok yang apa adanya. Hidupnya penuh dengan kesederhanaan, jauh dari kemewahan, namun selalu dekat dengan umatnya. Sementara itu, Romo Yance, yang juga ahli liturgi di Keuskupan Agung Ende lebih kalem dan pendiam. Meski berbeda, keduanya berbagi satu komitmen: menjalani panggilan imamat mereka dengan totalitas.
Berikut kisah yang disampaikan tema kami Yustin tentang almarhum. Saya ingat ketika saya pertama kali benar-benar dekat dengan Kae Endi. Suatu hari, ketika ia tahu bahwa saya adalah teman baik adiknya, Yance, kedekatan kami semakin erat. Ada satu momen tak terlupakan ketika Kae Endi pulang dari suatu kegiatan di Bogor bersama beberapa romo lainnya. Saya ingat, saat itu, almarhum Romo Efrem Dida menghubungi saya, "Aji, kami mau nginap di rumah." Senang mendengar kabar itu, saya segera menuju Unio, tempat para romo berkumpul.
Karena saya sedang mengantarkan barang dari toko, saya menggunakan mobil pick-up untuk menjemput mereka. Tidak ada pikiran apapun di benak saya hingga Romo Leksi Luna dan Kae Endi tiba-tiba ikut dalam perjalanan. Tiga imam yang saya hormati naik pick-up? Saya mulai merasa canggung. Bagaimana mungkin tiga imam ini harus naik di mobil bak terbuka?
Namun, Kae Endi dengan santainya berkata, "Ngero, aji, kami semua tidak bisa nyetir. Engko saja yang mainkan sudah. Ini Jakarta, orang juga tidak tahu kita Romo." Tiba-tiba, Kae Endi sudah duduk di bak belakang bersama koper dan tasnya. Duduk di tengah terik matahari, ia tampak nyaman, tak ada sedikit pun keluhan. Saya sering melihat ke belakang melalui kaca spion, dan setiap kali saya melirik, Kae Endi tampak tenang, seperti menikmati setiap detik perjalanan itu. Setibanya di rumah, saya meminta maaf karena merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. Namun, seperti biasa, Kae Endi hanya tersenyum, "Kau tenang saja, aji. Kita orang lapangan, aman saja."
Kesederhanaan ini begitu mencolok dalam kesehariannya. Di zaman ponsel pintar, Romo Endi hanya memiliki ponsel Nokia lama yang hanya bisa menerima SMS dan panggilan. Ketika saya menanyakan mengapa ia tidak menggunakan ponsel yang lebih modern, ia hanya tertawa, "Aji, beginian sudah cukup. Apalagi kita doi kura duna mau beli paket." Kami pun tertawa bersama, menikmati candaan kecil itu.