Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rendahnya Sensivitas Anggota Dewan Menanggapi Penolakan Rakyat

23 Agustus 2024   19:02 Diperbarui: 23 Agustus 2024   19:08 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rendahnya Sensitivitas Anggota Dewan Menanggapi Penolakan Rakyat

Di tengah gelombang dukungan publik terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi soal ambang batas minimal calon kepala daerah , anggota dewan kembali menunjukkan rendahnya sensitivitas mereka terhadap aspirasi rakyat. Mereka tampak lebih sibuk mempertahankan kekuasaan dan kedudukan yang sejatinya hanya diamanahkan oleh rakyat, namun sayangnya, mereka lupa diri akan hakikat jabatan yang mereka emban. Anggota dewan yang (katanya) terhormat itu merasa dirugikan oleh keputusan MK yang seolah-olah menjegal salah satu calon andalan sebagian partai di parlemen.

Ketika seorang wakil rakyat mulai mengabaikan suara rakyat yang seharusnya diwakili, mereka secara tidak langsung telah mengkhianati mandat yang diberikan. Wakil rakyat bukanlah penguasa, melainkan pelayan rakyat. Namun, di berbagai kesempatan, kita menyaksikan betapa anggota dewan lebih sering bertindak sebagai penguasa yang angkuh, menganggap keputusan mereka lebih penting daripada keresahan yang dirasakan oleh masyarakat luas.

Pakar politik Dr. Bambang Widodo mengungkapkan bahwa rendahnya sensitivitas ini adalah bentuk kegagalan anggota dewan dalam memahami esensi demokrasi perwakilan. "Demokrasi perwakilan menuntut adanya interaksi dua arah antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili. Ketika wakil rakyat gagal mendengarkan dan merespon dengan baik, mereka kehilangan legitimasi moral sebagai representasi rakyat," tegasnya. Menurutnya, sikap seperti ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara elit politik dan masyarakat, yang pada akhirnya mengikis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.

Sementara itu, Sosiolog Dr. Indriani Kusuma menambahkan, "Kondisi ini adalah cerminan dari fenomena elitisme dalam politik, di mana wakil rakyat merasa diri mereka berada di atas rakyat. Mereka lupa bahwa kekuasaan yang mereka miliki bukanlah hak prerogatif pribadi, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan." Dr. Indriani menyoroti bagaimana fenomena ini memicu alienasi sosial, di mana rakyat merasa semakin jauh dan tidak terhubung dengan para pemimpin yang seharusnya mewakili mereka.

Dari perspektif psikologis, Dr. Nurul Aini melihat sikap angkuh anggota dewan sebagai bentuk narsisme politik. "Ketika seseorang berada di posisi kekuasaan, ada kecenderungan untuk melihat dirinya sebagai lebih penting dan lebih benar dibandingkan orang lain. Hal ini diperparah dengan lingkungan yang mendukung dan tidak ada mekanisme kontrol yang efektif. Akibatnya, anggota dewan menjadi tidak peka terhadap kritik dan penolakan dari rakyat," jelasnya. Dr. Nurul menekankan pentingnya refleksi diri dan pemahaman atas tanggung jawab sosial sebagai cara untuk mencegah berkembangnya sikap narsis dalam politik.

Dari segi hukum, pakar hukum Dr. Arief Purnama menegaskan bahwa anggota dewan harus memahami bahwa posisi mereka tunduk pada konstitusi dan hukum. "Mereka adalah pelaksana kehendak rakyat, bukan pembuat kehendak pribadi atau golongan. Ketika mereka menolak mendengarkan suara rakyat, mereka sebenarnya sedang melanggar prinsip dasar dari demokrasi itu sendiri." Menurutnya, penolakan terhadap aspirasi rakyat tanpa argumen yang kuat dan tanpa melalui proses yang transparan adalah bentuk pelecehan terhadap hukum dan konstitusi.

Jika gelombang penolakan dan demonstrasi mahasiswa dan aneka elemen masyarakat lainnya diabaikan, para anggota dewan sedang memasang bom waktu bagi diri mereka sendiri. Kredibilitas mereka (yang memang sudah) akan semakin rendah di mata masyarakat yang sudah memilih dan memberikan posisi enak (dengan mendapat gaji dan tunjangan yang fantastis) namun bekerja dengan selera minimalis.

Rendahnya sensitivitas anggota dewan terhadap penolakan rakyat adalah bukti nyata dari arogansi kekuasaan yang sudah kehilangan arah. Mereka seharusnya menjadi telinga dan suara rakyat, bukan menjadi penguasa yang tak tersentuh. Apabila kondisi ini dibiarkan, bukan hanya kredibilitas mereka yang terancam, tetapi juga masa depan demokrasi itu sendiri. Rakyat perlu terus bersuara, dan anggota dewan harus segera menyadari bahwa tanpa rakyat, mereka hanyalah sekumpulan orang yang kehilangan tujuan dan legitimasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun