Antara Cita-cita Reformasi dan Kenyataan
Refleksi 28 Tahun Peristiwa Kudatuli
Â
Dua puluh enam tahun yang lalu, Indonesia menyaksikan salah satu babak kelam dalam sejarah politiknya, yang dikenal sebagai Peristiwa Kudatuli. Pada 27 Juli 1996, kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta, diserbu secara brutal. Peristiwa ini mencatat luka mendalam dalam sejarah bangsa, menjadi bagian dari rangkaian peristiwa yang akhirnya memicu gelombang reformasi melawan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Saat itu, PDI di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi politik yang represif. Serangan ke kantor PDI bukan hanya serangan terhadap satu partai, tetapi juga simbol penindasan terhadap suara rakyat yang menginginkan perubahan dan demokratisasi. Peristiwa tersebut menjadi pendorong bagi banyak aktivis dan masyarakat untuk semakin menguatkan gerakan reformasi. Sejak itu perlawanan rakyat kian massif dan tak terbendung hingga Orde Baru terjungkal.
Kini, setelah lebih dari dua dekade, cita-cita reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata seolah menghadapi ujian baru. Euforia reformasi yang pernah membawa angin segar bagi demokrasi dan kebebasan perlahan memudar. Beberapa pelaku reformasi kini terlihat nyaman di kursi kekuasaan, menikmati "kue" yang dulu diperjuangkan. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa nilai-nilai reformasi, seperti demokrasi, transparansi, dan keadilan sosial, mulai tergeser oleh kepentingan pragmatisme politik. Sementara pergerakan dan perjuangan mahasiswa seperti yang pernah terjadi 28-30 tahun silam belum menemukan momentum, apalagi untuk dikatakan bertaji.
Ketika masyarakat menengok ke belakang, ada perasaan nostalgia bercampur kecewa. Harapan besar yang dulu disemai, seperti mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kadang kala terasa jauh dari kenyataan. Beberapa kebijakan dan tindakan yang diambil oleh para pemimpin saat ini memunculkan tanda tanya besar: Apakah kita sedang kembali menuju era yang dulu kita lawan? Dulu kekuasaan berpusat di satu tangan: Suharto. Pasca orde baru malah berpusat pada keluarga atau dinasti tertentu mulai dari Bupati dan Walikota hingga gubernur. Lingkaran kekuasaan hanya berputar-putar di orang dalam. Â
Refleksi terhadap perjalanan sejarah ini penting dilakukan, bukan hanya sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah berjuang, tetapi juga sebagai pengingat bahwa perjalanan menuju demokrasi sejati membutuhkan pengawalan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Keberhasilan reformasi tidak hanya diukur dari pergantian rezim, tetapi juga sejauh mana nilai-nilai yang diperjuangkan dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Kita sebagai bagian dari bangsa ini memiliki tanggung jawab untuk terus mengawal jalannya demokrasi dan mengingatkan para pemimpin tentang cita-cita reformasi yang harus diwujudkan. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa pengorbanan yang telah dilakukan 26 tahun lalu tidak sia-sia, dan bahwa masa depan Indonesia akan menjadi lebih baik dari masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H