Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kopi dan Malam yang Menggigil

22 Juli 2024   22:23 Diperbarui: 22 Juli 2024   22:58 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kopi dan Malam yang Menggigil

(Selidiki rekam jejak jagoanmu)

Di cangkir kopi, malam menggigil,
Berani karena benar, takut karena salah,
Di bibir pejabat, kabur mana adil.

Bersandiwara di panggung megah,
Topeng kebenaran, sering dipakai salah,
Hukum dan agama, jadi mainan mudah.

Dakwat hitam, putihnya sirna,
Berbaju agama, ikhlasnya kabur,
Kita tersesat, dalam drama mereka yang palsu.

 

Malam yang menggigil menjadi simbol dari situasi tegang dan penuh ketidakpastian dalam penegakan hukum di tanah air. Cangkir kopi, yang biasanya membawa kehangatan dan ketenangan, malah menjadi saksi bisu dari keadaan yang penuh kebimbangan. Frasa "berani karena benar, takut karena salah" menunjukkan adanya kesadaran moral yang kuat dalam masyarakat sebagai warisan bijak para leluhur kita, namun di bibir pejabat, kebenaran dan ketidakbenaran menjadi kabur. Coba perhatikan kata-kata mereka yang sering tidak sinkron dengan kenyataan yang mereka perlihatkan. Entah salahnya di mana bangsa kita, sehingga setelah hampir 80 tahun kita merdeka, kita justru dijajah oleh sikap-sikap tak bertanggung jawab mereka yang kita beri mandat.

Pejabat yang bersandiwara di panggung megah menyiratkan kritik terhadap politisi dan pemimpin yang sering kali menggunakan tipu muslihat untuk menutupi kesalahan mereka. Topeng kebenaran yang dipakai secara salah menunjukkan bagaimana kejujuran dan integritas sering disalahgunakan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hukum dan agama, yang seharusnya menjadi pedoman moral, malah menjadi alat yang mudah dimanipulasi.

Baris ketiga mencerminkan ironi dan kesedihan atas kenyataan bahwa pejabat yang telah terbukti bersalah tetap bisa tampil sebagai sosok yang religius dan agamis. Mereka menggunakan atribut agama sebagai tameng untuk menutupi kesalahan dan mencari simpati publik. Dakwat (tinta) hitam, yang seharusnya menulis kebenaran, malah membuat putihnya (kejujuran) sirna, menandakan hilangnya kebenaran dalam tumpukan kepalsuan.

puisi ini hanya sebuah refleksi untuk mengajak kita merenungkan bagaimana kita sering kali tersesat dalam drama dan kepalsuan yang dipertontonkan oleh para pemimpin yang tidak jujur. Ketulusan dan keikhlasan menjadi hal yang langka, dan kita sebagai masyarakat harus lebih bijaksana dalam menilai dan membedakan mana yang benar-benar tulus dan mana yang hanya bersandiwara. Apalagi menjelang pilkada yang sudah di ambang pintu perhelatannya di bulan November nanti. Jangan sampai pilihan kita membuat kita menyesal selama lima tahun ke depan.

Tataplah jagoan Anda, selidikilah rekam jejaknya. Carilah pemimpin yang siap melayani masyarakat, bukan yang menjadikan amanat sebagai pekerjaan untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok. Hati-hati terkena diabetes karena termakan janji-janji manis yang bisa membuat kehidupan sosial kemasyarakatan kita sekarat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun