Kopi Pahit dan Teh Tawar
Di balik cangkir kopi pahit,
Pejabat berdasi menyulam dusta,
Janji manis terurai, menyesakkan hati,
Senyuman palsu menjerat jiwa tak berdaya.
Di sela teh tawar yang hambar,
Kekuasaan disalah-gunakan, moral terempas,
Rupanya jabatan jadi alat picik,
Menjebak bawahan dalam lingkaran licik.
Suara rakyat tak akan bisu,
Merbuka kelakuan busuk di ranah terang,
Menyuarakan etika yang terkoyak,
Biar keadilan tak lagi jadi canda belaka.
Melalui puisi ini penulis hendak menyoroti perilaku pejabat publik yang mencederai etika dan moral (berkaca dari kasus Ketua KPU yang dipecat, "bos yang merayu bawahan"). Dalam konteks ini, kopi pahit dan teh tawar menjadi simbol kegetiran dan kehampaan yang dirasakan oleh masyarakat akibat tindakan pejabat yang tidak bermoral. Pejabat seharusnya menjadi panutan dan pelayan masyarakat, namun kenyataannya seringkali mereka justru menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, merugikan orang-orang yang lemah, khususnya perempuan. Puisi ini juga mengingatkan kita akan pentingnya keselarasan antara kata dan tindakan serta pentingnya keteladanan moral dalam menjalankan amanah publik.
Pada bait pertama, menggambarkan bagaimana pejabat publik sering kali menggunakan kata-kata manis dan janji-janji palsu untuk menutupi niat buruk mereka. Kopi pahit melambangkan kenyataan pahit di balik semua janji manis tersebut. Pejabat publik yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat justru mengecewakan dengan tindakan yang berlawanan dengan kata-kata mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya integritas dalam setiap kata dan tindakan pejabat publik.
Bait kedua memperlihatkan bahwa kekuasaan yang disalahgunakan dapat membawa kehampaan dan keputusasaan. Teh tawar menggambarkan kebosanan dan kehampaan yang dirasakan oleh masyarakat ketika moralitas pejabat terabaikan bahkan dianggap angin lalu. Itu melukai rakyat. Menjebak perempuan dalam lingkaran licik adalah tindakan yang tidak hanya melanggar hukum tetapi juga melanggar etika dan moral. Ini menunjukkan bahwa tanpa moralitas, kekuasaan menjadi alat penindasan.
Sedangkan pada bait ketiga, suara rakyat digambarkan sebagai kekuatan yang tidak akan diam meskipun menghadapi kelakuan pejabat yang tidak bermoral. Keterbukaan dan transparansi adalah kunci untuk menegakkan keadilan. Ketika rakyat bersuara, kebusukan pejabat akan terbongkar dan keadilan bisa ditegakkan. Ini mengingatkan pejabat bahwa mereka diawasi oleh masyarakat dan harus bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Melalui puisi ini kita, terutama para pejabat publik diajak untuk selalu bersikap jujur dan transparan. Keselarasan antara kata dan tindakan harus dijaga agar kepercayaan masyarakat tetap terpelihara. Etika dan moralitas harus menjadi landasan dalam setiap keputusan dan tindakan pejabat publik. Dengan demikian, mereka dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat.
Para pejabat ini ibarat bos di perusahaan yang menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk "merayu" karyawannya untuk mengerjakan yang bukan tugas-tugasnya dengan iming-iming kenaikan jabatan, tunjangan, liburan bahkan fasilitas mewah jika mau dijadikan lebih dari sekadar rekan kerja.