Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kopi dan Hujan Menjelang Tidur

25 Juni 2024   23:03 Diperbarui: 25 Juni 2024   23:11 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto dari WAG oleh Bambang Widiatmoko) 

Kopi dan Hujan Menjelang Tidur 

#PutibaCintaSastra

Saat kopi mengepul dalam gelas keramik tua,
Hujan turun perlahan menari di atap,
Impian tentang bangsa ini tumbuh di hati,
Bangsa yang mencintai imajinasi tanpa batas,
Setiap pikiran melayang bebas, penuh kreasi.

Di bawah langit kelabu malam yang tenang,
Sastra menjadi nyawa, kata-kata menjadi cahaya,
Puisi dan prosa merangkul jiwa yang dahaga,
Bangsa yang menghargai setiap halaman cerita,
Menghidupkan kembali warisan dari masa lalu.

Dengan setiap tetes hujan yang jatuh perlahan,
Teposaliro dan toleransi tumbuh subur,
Bangsa yang penuh cinta dan pengertian mendalam,
Setiap perbedaan menjadi kekuatan yang menyatukan,
Di sini, dalam kehangatan malam, impian berkumpul.

Catatan Kritis

Penghargaan negara terhadap pengabdian dalam dunia sastra kepada tokoh-tokoh sastra nasional seperti Tengsoe Tjahjono, Budi Sardjono, Bambang Widiatmoko, dan kawan-kawan, meskipun ada, sering kali masih kurang optimal dalam mengakui dan mendukung peran vital mereka. Para sastrawan (termasuk mereka yang sudah Pramoedia Ananta Toer, WS Rendra, Gerson Poyk, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, dll) telah berkontribusi besar dalam memperkaya budaya dan identitas Indonesia melalui karya-karya yang menggambarkan realitas sosial, budaya, dan sejarah bangsa. Mereka tidak hanya berkarya, tetapi juga berjuang mempertahankan nilai-nilai luhur dan kritik sosial yang penting bagi pembangunan moral dan intelektual masyarakat.


Sastra memiliki peran yang amat penting dalam membangun peradaban sebuah bangsa karena melalui sastra kita bisa tahu karakteristik, sejarah, dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Karya-karya sastra dari Tengsoe Tjahjono, Budi Sardjono, dan Bambang Widiatmoko, F. Rahardi misalnya, tidak hanya menawarkan keindahan bahasa dan cerita, tetapi juga menggugah kesadaran pembaca akan isu-isu kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan. Mereka menjadi jembatan bagi generasi penerus untuk memahami dinamika sosial dan budaya Indonesia, serta menumbuhkan rasa kebanggaan dan tanggung jawab terhadap identitas nasional.

Namun kenyataannya, penghargaan negara yang diberikan kepada para sastrawan ini sering kali belum memadai. Banyak dari mereka yang tidak mendapatkan pengakuan yang layak atas kontribusi mereka. Dukungan finansial, publikasi, dan fasilitas untuk berkarya masih sangat terbatas. Bahkan, dalam beberapa kasus, sastrawan harus berjuang sendiri untuk menerbitkan karya mereka dan mencapai pembaca yang lebih luas. Kurangnya dukungan ini tidak hanya merugikan para sastrawan secara individu tetapi juga menghambat perkembangan budaya dan intelektual bangsa. Sejak covid-19 muncul kesadaran baru para penulis untuk swadaya dalam menulis dan menerbitkan. Ada yang bisa dipasarkan, ada juga yang hanya dijadikan arsip bagi anak cucu bahwa mereka pernah menulis dan menghasilkan minimal satu atau dua buku sastra meski berupa antologi bersama.

Untuk itu, diperlukan langkah konkret dari pemerintah untuk meningkatkan penghargaan terhadap para sastrawan. Program-program seperti beasiswa penulisan, residensi penulis, penghargaan tahunan yang bergengsi, dan fasilitas penerbitan yang lebih mudah dan terjangkau harus diperluas dan diperkuat. Supaya para sastrawan dan juga calon sastrawan menjadi sebuah komunitas yang berjuang sendiri (dalam kesunyian dan minimnya kepedulian negara). Penghargaan ini tidak hanya berfungsi sebagai bentuk apresiasi, tetapi sebagai investasi jangka panjang dalam pembangunan budaya dan intelektual bangsa. Dengan memberikan dukungan yang memadai, negara dapat memastikan bahwa para sastrawan dapat terus berkarya dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Ingat, para sastrawan selalu hidup lintasbatas: batas agama, batas suku dan batas negara. Bagi mereka yang utama adalah kemanusiaan. Dan di mana satu atau dua orang sastrawan berkumpul, terciptalah sebuah gambaran tentang Indonesia yang sebaiknya dibangun bersama.

Selain itu, upaya untuk mengenalkan karya-karya para sastrawan (dari aneka generasi) kepada generasi muda juga sangat penting. Pendidikan sastra di sekolah-sekolah harus ditingkatkan agar siswa tidak hanya belajar tentang sastra sebagai bagian dari kurikulum, tetapi juga memahami dan menghargai peran sastra dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, penghargaan terhadap para sastrawan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Dengan dukungan yang kuat dan berkelanjutan, sastra Indonesia dapat terus berkembang dan berperan penting dalam membangun karakter dan peradaban bangsa.

Semoga penghargaan yang diterima oleh Tengsoe Tjahjono dan kawan-kawan menjadi langkah awal yang baik bahwa bangsa ini perlu dibangun di atas imajinasi dan impian (yang seringkali digambarkan oleh para sastrawan dalam karya-karya mereka) agar tercipta masyarakat yang berpikir mandiri bukan yang hanya mengekor dan mengiyakan pemikiran orang lain.

Salam dari kaki Merapi kala hujan mendera buana, sejenak tapi basah.

Alfred B. Jogo Ena

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun