Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kopi Tengah Malam

21 Juni 2024   23:20 Diperbarui: 22 Juni 2024   00:19 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kopi Tengah Malam

#PutibatentangTokohPendidikan

Di tengah malam hening, secangkir kopi dalam genggaman,
Terbayang sosok Ki Hadjar Dewantara yang bijak,
Menggugah jiwa dengan pendidikan yang berperikemanusiaan,
Murid dan guru, dua subjek dalam simfoni, bukan mesin birokratik.

Di sudut ruangan, aroma kopi menyapa,
Driyarkara, SJ hadir dalam kenangan, penuh cinta,
Memanusiakan pendidikan, menjunjung martabat setiap jiwa,
Mengukir hikmah di hati, bukan di atas kertas yang fana.

Kopi tengah malam, saksi dari perjuangan tanpa lelah,
Ki Hadjar dan Driyarkara, dua pilar dalam gulita,
Menyinari jalan, memanusiakan manusia dengan penuh berkah,
Menjadikan setiap langkah pendidikan sebuah cahaya.

Sebuah catatan kritis:

Kurikulum pendidikan yang terus berubah seakan menempatkan insan-insan pendidikan: guru dan siswa seperti mesin dan robot yang mudah diatur kapan mulai dan kapan berhenti. Sejak merdeka sebelas (11) kali bangsa ini berganti-ganti kurikulum. Ada yang bertahan sekian lama, ada juga yang cuma seumur jagung. Bahkan sejak zaman reformasi sudah empat kali ganti. 

Betapa kurikulum pendidikan berganti cepat seperti jualan kacang goreng yang mengikuti selera pasar. Kita membentuk manusia, maka proses evaluasi tidaklah instan. Paling kurang butuh satu atau dua generasi untuk membuktikan bahwa sebuah kurikulum itu benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat, bukan sebuah proyek menteri tertentu. 

Semoga kehadiran kurikulum merdeka (kumer) sungguh memerdakan guru dan murid sebagai pribadi-pribadi yang layak mendapatkan apresiasi atas kemanusiaannya, bukan atas profesinya yang dijadikan seperti operator administratif. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun