DOMPET PUISI
Puisi-puisimu terselip di dompetku bak kartu nama yang setiap saat siap kutukarkan kepada kenalan dan relasi baruku. Terselip pula lembaran-lembaran wajahmu berukuran dua kali tiga dalam dua pose, warna dan hitam putih. Kusuka membawanya kemana saja, temani isi dompetku yang tidak seberapa. Ah asyik juga, disangka aku pejabat berkantong tebal, meski hanya sisipan-sisipan kertas puisi-puisimu tentang kita. Ya, puisi kita.
Entah tanggal tua entah muda, engkau tetap tersisip di dompetku. Kubawa ke sana ke mari, menemaniku ke setiap pelosok mengikuti kemana saja kakiku melangkah. Kadang saat kududuk diskusi dengan siapa saja meski bukan tentang kita, engkau tetap setia. Ah asik juga, disangka aku pejabat berkantong tebal, yang pelit hanya bisa jajan di angkringan pinggiran. Aha, jangan salah kawan, jika kududuk lama menikmati diskusi sembari menyuap nasi kucing bersanding susu jahe, rasanya kantongku cepat terkuras.
Aku suka puisi-puisimu temaniku setiap waktu dalam dompet lusuhku. Kita sering berpagut kata dalam sanding sepi penuh makna.
Aha asyik juga, disangka aku pejabat berkantong tebal, melihatku keluarkan lembar-lembar kata tersusun penuh nostalgia. Apa katamu ketika itu, tercetak tangan dengan indah di dompetku...Haruskah aku namai dompetku: dompet berisi kata ataukah kata-kata memenuhi dompet? Ah, entahlah, yang penting aku disangka pejabat berkantong tebal meski di ujung ada tanya: inikah puisimu itu?
Alfred B. Jogo Ena
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H