SEKANEL
cerPenTigaparaGraf (Pentigraf)
Rumah itu sudah lama tak berpenghuni. Halamannya yang luas dengan pohon-pohon beringin tua yang memberi kesan angker. Saban pagi dan senja ada penjaga yang sibuk mematikan dan menghidupkan lampu-lampu, tetap memberi rasa angker bagi di sekitar rumah itu. Tak lupa ia menyapu dedaunan yang mengotori halaman yang mulai menghijau karena lumut. Jangankan bicara saat disapa, menoleh sedikitpun pada orang yang lewat di depannya saja tidak pernah. Tetangga sekitar sudah hafal dengan tingkahnya. Begitulah rutinitas di rumah tua yang penuh kenangan dan sejarah.
Sore itu selepas gerimis membasahi menyapu debu-debu di jalanan, aku mendatangi rumah tua itu. Aku hendak meminta ijin untuk memakai ruang atas di rumah itu. Aku berencana untuk menjamu para sahabatku sebelum aku pindah ke seberang pulau untuk menunaikan tugas baruku di sana. Ada rasa waswas dalam diri saat mendekatinya, "Permisi, Pak. Apakah boleh saya meminjam ruang atas untuk acara perpisahan pada hari Kamis besok?"
Tiada jawab dari mulutnya. Ah mungkin dia bisu dan tuli seperti kata orang. Ia masuk ke dalam sebuah ruangan lalu keluar lagi sambil membawa secarik kertas bertuliskan, "Maaf ruang atas tidak dipakai untuk umum, biar kenangan pengkhianatan dua ribu tahun silam tetap lestari." Aku langsung teringat Senakel, ruang makan tempat perjamuan perpisahan antara murid dan Guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!