PENTIGRAF SEBAGAI OASE SASTRA PENDEK
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Joko Pinurbo pernah menulis puisi tentang "doa orang-orang sibuk" yang berkantor di ponselnya bisa menjadi inspirasi juga untuk orang sibuk membaca karya sastra pendek. Beberapa kali saya memosting pentigraf di laman kompasiana ini. Pentigraf, cerita pendek tiga paragraf, bisa dibaca hanya dalam satu tarikan nafas. Pentigraf, diharapkan bisa memenuhi kerinduan pembaca sastra untuk menyingkat waktu mereka.
Pentigraf itu Oase
Pentigraf menjadi oase baru penulisan sastra yang singkat, padat dan tidak bertele-tele. Meskipun singkat tetap memenuhi syarat sebagai sebuah sastra pendek. Bagi saya pentigraf menjadi semacam sastra dalam satu kali tarikan nafas. Meski pendek tapi menarik. Meski menarik tapi tidak mudah.
Sebagai sebuah oase, pentigraf menawarkan ruang-ruang kreativitas yang mumpuni dan solutif. Mumpuni maksudnya, pentigraf itu bukanlah tulisan murahan apalagi picisan tanpa pesan. Disebut solutif karena pentigraf seakan menjawab kebutuhan membaca untuk membaca sesuatu yang pendek dan tuntas. Sebagai oase, pentigraf telah “menyedot” banyak orang dari berbagai lapisan pencinta sastra untuk mulai bergiat menulis.
Sebagai oase, pentigraf telah memenuhi rasa haus pembaca akan tawaran alternatif bacaan. Dan sebagai alternatif, pentigraf telah mengundang minat pembacanya untuk menjadi penulis. Sejak pertama pentigraf diperkenalkan oleh Dr. Tengsoe Tjahjono, saya sudah menulis lebih dari 200 pentigraf yang kemudian terkumpul menjadi dua buku kumpulan pentigraf pribadi dan aneka antologi pentigraf di Kampung Pentigraf Indonesia maupun di Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias maupun yang tersebar di Facebook.
Mengapa Pentigraf?
Jika menulis menulis cerita pendek yang umum biasanya sampai ribuan kata, maka pentigraf menawarkannya hanya dalam tiga paragraf dalam kalimat-kalimat ringkas. Idealnya 210 kata per pentigraf. Unsur-unsur sebuah cerpen seperti setting, penokohan dan alur “diringkas” dalam kalimat-kalimat yang efektif dan “to the point”. Sekalipun ringkas, pentigraf tetap menawarkan kejutan-kejutan sebagaimana cerpen pada umumnya.
Pertanyaan mengapa pentigraf bagi saya pribadi muncul pada moment yang sangat tepat ketika ingatan sebagian anak bangsa terhadap peran-peran tersembunyi para tokoh agama dan agama non mayoritas bagi kemerdekaan Indonesia seakan dianggap sebagai “angin lalu”. Tersentak oleh sikap saya yang tidak menerima perlakuan itu, saya mulai menulis serial pentigral tentang Bung Karno selama masa pembuangannya di Ende tahun 1934-1938. Saya lalu membaca-baca aneka tulisan tentang keberadaan Bung Karno selama masa pembuangan. Dari sana lahirlah buku pentigraf pertama saya berjudul: “Bung Karno Gereja Katolik SVD dan Pancasila Pentigraf Rindu akan Sosok Bung Karno.” Pak Tengsoe mendapatkan kehormatan untuk ikut memberikan Prolog berjudul: Menapaki Jejak Sejarah Pada Jalan Pentigraf.
Dari judul ini tampak jelas bahwa sejarah bisa dituliskan dalam bentuk sastra (dan pendek pula, tiga paragraf). Saya ingin mengutipkan kembali kata-kata Tengsoe berikut: “Bisakah sejarah ditulis dengan memakai pentigraf? Inilah tantangan yang menarik hati bagi Alfred B. Jogo Ena. Alfred melihat ada kemungkinan sejarah ditulis dalam bentuk pentigraf atau sastra. Konten sejarah itu objektif, walau tentu saja ada subjektivitas pada setiap penulisan sejarah, subjektivitas kepentingan atau subjektivitas tujuan penulisan. Namun, ekspresi penulisan sejarah bisa beragam. Sejarah bisa ditulis dalam kemasan tembang, kemasan dramaturgi, kemasan sastra, dan sebagainya. Dari sisi kemasan itulah Alfred melihat sangat mungkin menggarap tulisan sejarah dalam bentuk pentigraf.” Melalui pentigraf saya mencoba untuk membaca dan menuliskan sejarah secara enteng berisi.
Selama memproses penerbitan buku pentigraf pertama, saya terus menulis hampir setiap hari pentigraf tentang Bung Karno sejak kembali dari pembuangan di Ende hingga akhir hayatnya. Tulisan-tulisan itu kemudian menjadi buku “Bung Karno Dalam Tiga Paragraf Dari Ende dan Bengkulu Hingga Akhir Hayatnya” yang baru diterbitkan September 2020 dalam rangka 50 tahun “dilengserkan” oleh orde baru.
Kampung Pentigraf Indonesia
Dr. Tengsoe Tjahjono selaku penggagas adanya cerpen genre serba tiga ini konsisten untuk membimbing para penulis pentigraf (pentigrafis) baik di WAG maupun melalui Kampung Pentigraf Indonesia di Facebook (dengan anggota 3.672 anggota). Melalui Kampung Pentigraf Indonesia, sudah belasan Antologi Pentigraf dengan aneka tema diterbitkan, antara lain: "dari Robot Sempurna Sampai Alea Ingin ke Surga", "Dongeng tentang Hutan dan Negeri Hijau", "Papan Iklan di Pintu Depan dan cerita-cerita lainnya", "Nama-Nama yang Dipahat di Batu Karang" "Sepersejuta Milimeter dari Corona" yang ditulis oleh ratusan pentigrafis. Geliat sastra model ini seperti menjawab kerinduan bagi orang-orang sibuk. Karena di sela-sela jam istirahat mereka bisa membaca beberapa pentigraf dengan aneka tema yang segar dan menantang.