MAMPIR BERSAMA JOKPIN
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
MAMPIR
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.
(2002) dikutip dari mjbrigaseli.com, 14 Oktober 2015
Mas Jokpin, selamat pagi di sana. Bagaimana rasanya semalam di sana bersama Sang Puisi? Pasti seru sudah bisa ketemu sang guru Romo YB. Mangunwijaya, Opa Sapardi Djoko Damono, Yudhistira Massardi (salah inspirator metafora-metafora dalam puisi seperti kata Pak Yosep Yapi Taum di Kompas.Id 28/04/24) yang mendahulimu 2 April 2024? Pasti seru membahas puisi ya! Bagaimana rasanya terlelap dalam perut Bunda Pertiwi berselimutkan cinta keluarga dan para sahabat? Kalau ada puisinya, kirimkan lewat semesta ya Mas..
Maaf Mas, ini tulisan saya yang keempat tentang dan bersamamu. Seperti waktu peringatan 25 tahun meninggalnya Rama YB Mangunwijaya saya menuliskan rasa kagumku padanya sebanyak delapan serial (termasuk satunya yang dimuat di Kompas.Id 18 Februari 2024 lalu). Saya tidak janji berapa seri yang akan saya tulis tentang dan bersamamu, biarkan inspirasi darimu menyapaku dan kutorehkan dalam rupa tulisan.
Pagi ini, saya ingin mampir dengan membawa puisimu yang berjudul MAMPIR sembari menimba semangatmu dalam melahirkan puisi-puisi bernas yang tidak saja mampir tapi malah tinggal di dalam hati pembacamu. Mas, puisimu saya kutip dari mjbrigaseli.com yang diposting sejak 14 Oktober 2015.
Puisi yang amat sederhana, tetapi menggambarkan kegamangan dalam relasi sosial. Seringkali kita ingin berbuat sesuatu bagi orang lain, namun sering tersandera keraguan. "Mampir" ini menggambarkan perasaan rindu atau keinginan untuk mengunjungi seseorang yang tampaknya sedang dalam keadaan sulit atau kesepian, namun sang penulis merasa ragu atau takut untuk melakukannya.
Dalam puisimu ini, apakah "tubuhmu" merujuk pada seseorang yang kemungkinan sedang mengalami kesulitan atau kesendirian? Gambaran ini kadang aktual bagi kita dalam kehidupan bersama. Keengganan untuk "mampir" melihat keadaan orang lain, apalagi dengan niat membantu bisa membuat orang lain salah persepsi. Kita terikat oleh adat dan tradisi malu. Malu menolong jika orang yang mau ditolong meminta tolong.
Menurut hemat saya (maaf ini subjektif ya) Mas Jokpin menggunakan metafora tubuh untuk melambangkan keberadaan dan keadaan seseorang yang diinginkannya untuk dikunjungi. Namun, walaupun rindu untuk bertemu hadir, sang penulis merasa ragu dan tidak berani untuk "menggetok pintu" atau "melongok jendela" dalam luka-luka yang ada. Kenyataan sosial masyarakat kita sering seperti itu.