POST HOLIDAY BLUES, ASYIK GAK SIH?
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Liburan telah usai. Saatnya kembali beraktivitas. Para karyawan mulai bekerja. Para pejabat mulai berkantor. Para pemilik perusahaan mulai menjalin relasi bisnis. Namun sebelum benar-benar kembali normal, orang akan terkena sindrom Post Holiday Blues. Atau Sindrom Liburan Usai yakni adanya perasaan murung atau stres setelah kembali ke rutinitas sehari-hari setelah liburan. Mau atau tidak, terima atau tidak memang sudah saatnya liburan berakhir. Kalau pinjam istilahnya Tukul Arwana saatnya "kembali ke laptop" atau ke rutinitas seperti sebelum liburan.
Saya seorang pekerja mandiri, editor freelancer dan pengelola penerbitan pribadi. Sindrom ini tidak berlaku karena batasan antara rutinitas dan liburan sangat tipis, setipis telur dadar isi tomat dan cabe, ada kecutnya, ada manisnya, ada pedasnya. Mungkin orang-orang yang bekerja mandiri bisa merasakan hal yang sama, jika berbeda tentu karena cara kita melihat dan mengalaminya beda kali ya?
Perspektif Psikologis dan Sosiologis
Dari perspektif psikologis, Post Holiday Blues bisa dijelaskan sebagai reaksi alami terhadap perubahan atau transisi. Saat liburan, kita biasanya berada dalam mode relaksasi dan bebas dari tekanan kerja atau rutinitas sehari-hari. Ketika liburan berakhir dan kita harus kembali ke rutinitas, tubuh dan pikiran kita bisa merasa stres karena harus beradaptasi dengan perubahan ini.
Perubahan itu lebih berkaitan dengan transisi dari liburan yang sering kali diisi dengan kegiatan menyenangkan, berinteraksi dengan orang-orang yang kita cintai, dan merasa bahagia dan puas ke sesuatu yang rutin. Ketika liburan berakhir, kita mungkin merasa kehilangan atau merindukan perasaan positif ini, yang bisa memicu perasaan murung atau sedih.
Menurut Dr. Matthew Rudorfer, seorang psikiater di National Institute of Mental Health, perasaan sedih atau murung setelah liburan adalah hal yang normal. Menurutnya, ini disebabkan oleh perubahan rutinitas dan kegiatan sehari-hari, serta harapan dan tekanan yang muncul sebelum dan selama liburan. Sedangkan Dr. Mark Loewenthal, seorang psikolog klinis, menjelaskan bawa liburan sering kali menciptakan harapan yang tinggi tentang bersenang-senang dan merasa bahagia. Ketika kenyataannya tidak sesuai dengan harapan ini, atau ketika liburan berakhir dan kita harus kembali ke rutinitas, bisa memicu perasaan kecewa atau sedih.
"Ah gak asyik nih, lagi senang-senangnya PDKT eh malah berakhir sedih," begitu kira-kira kita gambarkan salah satu rasa sedih itu. Atau reaksi lain bisa begini, "ih nanggung banget ya, gak seru amat, sebel deh harus balik bekerja, tapi kalau gak kerja, gue makan apa?"
Dari perspektif sosiologis, Post Holiday Blues bisa dipengaruhi oleh norma dan harapan sosial. Misalnya, liburan sering kali dianggap sebagai waktu untuk bersenang-senang dan menikmati hidup, sedangkan bekerja atau belajar dianggap sebagai aktivitas yang membosankan atau melelahkan. Ketika kita harus kembali dari liburan ke rutinitas kerja atau sekolah, kita bisa merasa stres atau tertekan karena harus kembali ke realitas ini.
Selain itu, faktor sosial lain seperti tekanan untuk tampil baik di tempat kerja atau sekolah, atau harapan untuk segera kembali produktif setelah liburan, juga bisa mempengaruhi perasaan kita dan membuat kita merasa stres atau murung. Namun, penting untuk diingat bahwa Post Holiday Blues adalah hal yang normal dan biasanya bersifat sementara. Dengan waktu dan strategi penanganan yang tepat, sebagian besar orang bisa pulih dan beradaptasi kembali dengan rutinitas mereka.
Dr. Stephen Ilardi, seorang profesor psikologi di Universitas Kansas, juga menunjukkan bahwa cuaca dan kurangnya cahaya alami selama musim dingin (khususnya setelah liburan akhir tahun) bisa mempengaruhi mood dan energi kita, dan bisa memicu perasaan murung atau depresi musiman. Atau Dr. Rosenthal, seorang profesor psikiatri di Universitas Georgetown, perasaan sedih atau murung setelah liburan juga bisa disebabkan oleh "letdown effect", di mana tubuh dan pikiran kita merespons terhadap akhir dari periode stres atau aktivitas dengan merilis hormon stres, yang bisa membuat kita merasa lelah, sedih, atau murung.
Meski demikian, semua ahli tersebut sepakat bahwa Post Holiday Blues biasanya bersifat sementara dan bisa diatasi dengan strategi penanganan yang tepat, seperti menjaga pola tidur dan pola makan yang sehat, berolahraga, dan mencari dukungan dari orang lain jika perlu salah satunya dengan membaca atau menulis di Kompasiana.