PUISIKU SEHABIS HUJAN (1)
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Angin yang mendesir seusai hujan tidak cukup menghapus panas. Meski banjir-banjir melintas lincah di atas paving-paving desa, tak cukup ia mengusap sejuk. Angin mendesir bagai banjir yang berlalu, hampir tak cukup waktu buat singgah sejenak: menggenangi tanah leluhur, resapkan cadangan buat anak cucu.
Tak aku heran lorong-lorong desa penuh aspal dan paving tanpa sedikitpun memberi ruang pori-pori buat buana menguapkan penat yang menghujam bersama pupuk-pupuk anorganik yang mencabik-cabik cacing-cacing di pematang-pematang sawah, bagai cacing pita menggeliat di perut anak busung lapar.
Angin yang mendesir berlalu saja, tak peduli aku yang mandi keringat. Ah inikah akibat ozon yang menipis kala manusia-manusia mencabik-cabik jantung dunia: menebang dan membakar sesuka hati, tanpa merasa bersalah bukan hasil karya tangannya. Itu hasil budi daya leluhur ribuan abad.
Oh, aku menantimu mendesir lagi bersama air hujan yang memindahkan anak-anak sungai ke lorong-lorong desa, belum lagi banjir-banjir yang membuih di kota-kota mencari jalannya yang sudah jadi beton-beton megah tanpa punya empati pada ibu bumi yang terus meranggas. Ya itu ironi, banjir dan meranggasnya tanah terbelah seakan bermusuhan oleh ulah manusia. Terlalu rakus!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H