Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Salah satu adegan dalam jalan salib (Katolik) yang paling menyentuh hati adalah peristiwa Yesus diturunkan dari salib dan dipangku oleh Bunda Maria. Peristiwa itu diabadikan oleh Michelangelo dalam Pieta. Pieta merupakan karya seni yang menggambarkan cinta seorang ibu dan pengorbanannya.
Beberapa waktu lalu saya pernah diminta oleh sebuah Majalah yang diterbitkan di Semarang dengan tema "WANITA, KEMULIAAN DAN KEBANGKITAN". Salah satu point yang saya angkat adalah tentang peran seorang ibu dalam pendampingan iman anak, tentu saja termasuk dalam perkembangan lainnya yang menjadi tanggung jawab orang tua. Kali ini, berdasarkan adegan yang tergambar dalam Pieta itu, saya mencoba untuk merefleksikan pengorbanan seorang ibu atas penderitaan anak-anaknya. Â
Pertama, tentang Cinta dan Pengorbanan. Pieta adalah gambaran nyata dari cinta dan pengorbanan seorang ibu. Maria, meski merasakan kesedihan dan penderitaan yang mendalam, tetap setia di sisi Putranya sampai akhir. Demikian juga, banyak ibu merelakan segalanya untuk anak-anak mereka, bahkan jika itu berarti merasakan sakit dan penderitaan. Ibu adalah segalanya bagi anak-anak. Kita bisa membaca kisah-kisah kepahlawan seorang ibu yang mempertaruhkan segenap dirinya bagi anak-anaknya. Seorang ibu patut belajar pada keteladan cinta dan pengorbanan yang dilakukan oleh Bunda Maria.
Ketika saya masih duduk di kelas II SMA Seminari (sekolah calon imam) di sebuah kota di Kabupaten Ngada, Flores, NTT, mama saya pernah meminta saya keluar saja jika memang sudah tidak kuat lagi melanjutkan sekolah di Seminari. Hal itu terulang ketika tahun 1997 saat saya sudah di jenjang seminari yang lebih tinggi di Yogyakarta. Ibu masih meminta hal yang sama, agar berhenti saja jika saya menderita di jalan panggilan saya. Meski pada akhirnya saya berhenti, itu bukan karena permintaan ibu saya, tetapi keputusan bebas saya. Rupanya, karena cinta seorang ibu tidak mau anaknya menderita (menurut yang mereka pikirkan dan rasakan).
Kedua, tentang Kekuatan dan Ketabahan. Pieta juga menggambarkan kekuatan dan ketabahan seorang ibu. Meski hati Maria pasti hancur, dia tetap tegar dan tabah. Para ibu sering menunjukkan kekuatan yang luar biasa saat menghadapi penderitaan anak-anak mereka, menunjukkan cinta dan dukungan meskipun situasi sulit. Para orang tua tunggal, single parent, khususnya ibu tunggal, memiliki kekuatan dan ketabahan untuk itu. (bandingkan kisah nyata Kisah Nyata Cinta dan Pengorbanan Seorang Ibu yang Melindungi Anak dari Bahaya Hingga Bertaruh Nyawa, dalam KabarBanten.com).
Ketiga, tentang Empati dan Belas Kasih. Pieta menggambarkan dengan amat jelas empati dan belas kasih Bunda Maria terhadap Yesus, Sang Putra. Para ibu sering menjadi sumber empati dan belas kasih bagi anak-anak mereka, merasakan sakit dan penderitaan mereka seolah-olah itu adalah milik mereka sendiri. Tak ada ibu yang membiarkan anaknya menderita, kecuali para ibu yang sudah kehilangan kewarasan atau yang terbelenggu oleh keadaan sehingga sulit melihat sinar cerah bagi anak-anaknya, ibu-ibu yang tega menyakiti dan menelantarkan anak-anaknya. Tentu ibu yang model ini adalah kekecualian dan ibu pada umumnya.Â
Pada moment Lebaran yang indah ini, kita bisa mengungkapkan rasa cinta dan terima kasih kita untuk ibu kita dengan sungkem dan memohon ampun pada ibu kita, bila selama ini kita mengabaikan cinta dan pengorbanan mereka. Selagi orang tua, ibu masih bersama kita, gunakan waktu itu sebaik mungkin. Bagi ibu-ibu kita yang sudah meninggal (seperti penulis) semoga mereka boleh menjadi pendoa bagi kita dari alam sana. Cinta ibu selalu menembus ruang dan waktu: abadi.
Akhirnya, menurut hemat saya, sekali lagi Pieta menjadi pengingat kuat tentang cinta, pengorbanan, kekuatan, dan empati yang ditunjukkan oleh para ibu di seluruh dunia, terutama para ibu yang ada di dekat kita, ibu yang melahirkan kita atau ibu dari anak-anak kita. Ini adalah simbol dari peran penting yang dimainkan oleh ibu dalam hidup kita dan pengorbanan yang mereka relakan untuk anak-anak mereka. Pengorbanan itu bukan karena mereka lemah, tetapi terutama karena mereka kuat.
Bunda Maria telah dengan tabah dan kuat hati memangku Anaknya yang sudah tak bernyawa lagi. Itulah cinta, memberi diri hingga terluka.