Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jujur, Saya Tertegun Melihat DPR Ber-ulahlaku Bukan ‘In Persona Populis’

2 Oktober 2014   21:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:37 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mana Evaluasi Hasil Reformasi 1998?

Reformasi 1998 belum selesai. Karena tidak ada evaluasi secara holistik, yang dapat dilihat oleh rakyat. Hasil reformasi 1998, salah satunya ialah wakil rakyat yang dipilih berdasarkan perwakilan diganti dengan pemilihan secara serentak oleh rakyat sendiri. Kepala daerah seperti bupati dan gubernur, langsung dipilih rakyat, melalui partai yang mengusung para pemimpin daerah tersebut. Wakil rakyat di daerah (DPRD I dan DPRD II) dan pusat (DPD/DPR/MPR) pun sama, dipilih oleh rakyat. Dan kepala dan wakil kepala negara yang sebelum reformasi 1998 dipilih oleh MPR pun dipilih rakyat. Reformasi 1998: rakyat benar-benar mendapatkan kedaulatannya sendiri. Hal ini berlangsung selama 10 tahun sejak reformasi 1998. Selama 10 tahun, hemat saya tidak ada evaluasi akan hal ini yang disampaikan kepada rakyat yang adalah pemegang tertinggi haknya. Kalau mau dibilang, ini sebenarnya hal dasar yang harus diperhatikan oleh partai pemenang pemilu, seperti PD. Namun, apa yang mau terjadi? Sikap anggota PD yang selama 10 tahun memimpin pun ‘lupa akan hal ini.’ Sekali lagi, bahkan ketika pertarungan akan ‘kedaulatan rakyat’ untuk memilih RUU Pilkada tidak langsung atau langsung, PD ini malahan menunjukkan jiwa anti demokrasi. Benar bahwa banyak rakyat menilai PD adalah pengkhianat. Ini perlu dimakhlumi dan perlu untuk direfleksikan oleh anggota PD.

Semestinya PD harus memperjuangkan ini hingga aspirasi rakyat yang selama 10 tahun diwakilkan kepadanya, terwujud, bukan mengambil sikap ‘tidak mau tahu’ lalu keluar dari ruang DPR kemudian menyalahkan partai lain atau orang lain. Sungguh, berulahlaku tidak mencermin ‘in persona populis’ (wakil rakyat). Sebuah ekspresi sikap yang memalukan, kianat suara rakyat. Rakyat yang selama ini banyak berharap, sirna begitu saja. Lempar batu, sembuyikan jidat. Pengecut! Takut jidatnya dilempar batu oleh partai koalisinya selama ini.

PDI-Perjuangan

Dulu hanya satu nama PDI. Karena Suryadi berulahlaku mendukung orba, muncul PDI-Perjuangan. Kemenangan PDI-Perjuangan waktu itu pun mendapat halangan besar. Megawati Soekarno Puteri, yang sebenarnya menjadi presiden pun, gagal. Karena negara ini tidak boleh dipimpin oleh seorang pemimpin perempuan. Negara yang demokratis yang baru menyuarakan reformasi 1998, langsung terluka. Dengan melihat peristiwa ini, PDI-Perjuangan memiliki banyak tantangan dan tidak mulus dalam hal untuk ‘duduk di kursi’. Pengalaman semacam ini harusnya menjadi pelajaran berharga. Sehingga setiap kali pemilu, semestinya harus bijaksana dalam strategi dan strategi itu harus dijaga dengan cara evaluasi secara proses dan holistik. Bukan terbuai karena kesohoran tokoh-tokoh yang diusunginya. Akibatnya apa? Kedatangan si pencuri malahan dibiarkan untuk menjadi kawan karib.

2014, PDI-Perjuangan dipercayakan oleh rakyat banyak, malahan ‘digagalkan’ oleh partai koalisi yang bersiang dalam pertarungan Pilpres 2014. Karena ‘kesadaran terbatas’ satu hal lagi, bahwa semestinya hak untuk menjadi pimpinan DPR Puasat pun digagalkan lagi. Perjuangan untuk tetap konsisten pada Pilkada langsung oleh rakyat pun, dikibuli oleh para wakil rakyat yang merasa diri benar-benar terwakil oleh rakyat.

Kini, pimpinan nomor satu di negeri ini berasal dari partai koalisi pemenang pilpres 2014. Kemenangan ini tidak boleh menjadi sombong. Karena kesombongan pratanda kegagalan akan terjadi; dengan begitu impian untuk mampu melaksanakan program reformasi mental, akan tinggal kenangan pahit. PDI-Perjuangan harus bersikap rendah hati, menerima semua aspirasi rakyat, dan mengajinya supaya apa yang didengungkan selama kampanye pilpres 2014, yang semestinya agak sulit dijalankan, tetap mendapat simpati dari rakyat. Soal kalah dalam pertarungan di legislatif, itu hal lain, karena kalau diukur dalam ‘kedaulatan rakyat’ partai-partai koalisi dalam usungan PDI-Perjuangan juga merupakan ‘pilihan rakyat banyak’ yang adalah ‘in perosona rakyat’. Sekarang yang perlu diperhatikan adalah strategi yang benar-benar strategis dan bila perlu strategi yang dicanangkan itu, disosialisasikan kepada rakyat untuk mendapat ‘penguatan’ dari rakyat sendiri.

DPR: Apa benar kalian Wakil Rakyat?

Pesimis, jika saya mengamati trik-trik yang kalian bangun sekarang. Mengapa? Karena trik-trik yang dibangun dalam DPR hanyalah sebuah rasa sakit hati. Politik adalah sebuah pekerja seni, akhirnya kabur maknanya. Yang muncul adalah seni mengelabui rakyat dengan bersuara ini atau itu atas nama rakyat. Politik bukan sebuah dinamika picik dan licik. Politik adalah proses memperjuangkan kesejahteraan rakyat apa yang menjadi hak rakyat sendiri dengan menampilkan sikap-sikap kesantunan yang berlandas pada Pancasila dan UUD 1945. Karena berlandas pada kedua instrumen dasar negara ini, maka sikap picik dan licik dalam dinamika berpolitik sangat bertentangan dengan makna terdalam dari kedua instrumen negara ini. Sikap yang demikian inilah yang seakan menambah ‘nyata api’ dalam psikologis rakyat, sehingga tidak heran jika rakyat sangat meragukan DPR sebagai wakil rakyat.

Jika DPR benar-benar wakil rakyat, maka semestinya yang diperjuangkan adalah mengembalikan hak rakyat yang selama ini masih terbelenggu oleh cara lama meneruskan kemerdekaan negara ini. Mentalitas untuk memperkaya diri beralih dengan cara memperjuangan kesejahteraan rakyat, sikap egoisme dalam berbagai debat tentang kesejahteraan rakyat, harus berdiri teguh pada prinsip untuk membawa rakyat pada pintu gerbang kejayaan ekonomi, pendidikan, hidu sosial, budaya, dan politik yang beretika Pancasila. Dengan demikian, rakyat yang mengawasi ‘perjuangan wakilnya’ tidak menilai negatif dan bersikap acuh tak acuh karena berulalaku yang jauh dari harapan kebanyakan rakyat.

Akhirnya, berjuanglah untuk mencapai kesejahteraan banyak rakyat, bukan kesejahteraan diri sendiri dan kolega anda. Semoga masa bakti lima tahun ke depan, menuai senyuman rakyat, bukan wajah beringas rakyat yang berdiri tegun di depan kantor anda untuk meminta haknya. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun