Pemimpin (leader) tidak hanya memiliki keutamaan dalam hal pengetahuan dan ketrampilan. Semestinya memiliki kemampuan lain yaitu kemampuan mengolah pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya, untuk menjadi pribadi yang bijaksana. Disini tiga kata kunci yang mendasar: berpikir, bertindak, dan berperilaku. Ketiganya satu kesatuan yang integral, sejalan, tak terceraikan satu sama lain..
Apa itu bijaksana? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online menyebut arti kata bijaksana yang sangat bagus. Bijaksana adalah (orang) yang selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya). Maka orang atau pemimpin itu disebut sebagai orang arif, tajam pikiran, pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya), ketika ia menghadapi kesulitan dan sebagainya.Disini
Arti yang mendalam dari bijaksana ini, menandai bahwa seseorang (pemimpin) tidak gampang menumpahkan segala dendam untuk banyak orang. Apalagi kepada orang yang tak tahu menahu atau merasakan apa hubungan dengan apa yang orang atau pemimpin lakukan seperti mengambil keputusan untuk berperang.
Orang yang tidak tahu seperti masyarakat biasa, akan menjadi korban. Lebih fatal lagi dari itu, orang tahu malahan mau mencari dukungan atas kesombongannya untuk membenarkan diri. Meminta dukungan kepada tipe leader yang sama, dengan membangun konsolidasi kekuatan dan kepada negara-negara lain. Tentu hal ini akan memperkeruh situasi lokal bahkan situasi global.Baca disini! Salah satu contoh ini. Bahkan membangun jejaringan persengkokolan untuk membentuk permusuhan "kejahatan" global.
Putin dan Zelensky, Leader yang mengutamakan egoisme diri dan kesombongan
Egoisme diri dari dua tokoh ini, menarik perhatian global dalam sebulan terakhir ini. Egoisme diri adalah salah satu tanda dari kesombongan diri. Egoisme diri manakala ia tak sanggup mengolah pengetahuan dan ketrampilan dirinya. Apalagi, untuk hal ini, hanya menaruh harapan pada koloni dekat mereka. Mau membenarkan diri dengan berbagai dalil untuk mempersalahkan AS dan sekutu. Ketidakmampuan ini berujung pada penggunaan kekuasaan sebagai model egoisme diri.
Dampaknya, banyak rakyat menjadi korban. Mereka harus melarikan diri jauh dari kota dan kampung halamannya. Mereka menjadi orang asing di luar negaranya. Mereka menjadi pengungsi, padahal mereka memiliki asal usul budaya dan lokalnya. Mereka menjadi beban bagi kota atau negara lain. Mereka yang tak sanggup melarikan diri pilihannya, bertahan menunggu gempuran senjata dan meninggal dunia, serta dikuburkan seperti hewan yang mati. Rasa kemanusiaan, sirna. Situasi penuh derunya senjata-senjata berat menjadi momok, yang menakutkan para generasi muda. Benar-benar parah!
Tidak hanya itu tentunya. Rumah hancur, masyarakat kehilangan jati dirinya, kekurangan makanan dan minuman-lapar karena egoisme diri leader. Lebih parah dari itu, melakukan perang lalu menutup diri dari orang yang berniat baik untuk menjadi penengah perdamaian. Banyak biaya yang keluar untuk menghancur manusia. Jika sudah habis biaya, melakukan kerjasama dengan pihak yang pro, meminta bantuan sebagai penggadaian negara, dengan iming-iming setelah perang redah baru bisa dibayar kembali. Memaksa kehendak pemimpin negara lain untuk mendukung perilaku berperang yang telah mereka lakukan. Banyak tenaga yang harus dikorbankan akibat tidak bijak dan egoisme diri. Dunia yang nyaman dan tentram bagi manusia secara global, menjadi "neraka" hanya karena egoisme diri dan kesombongan kedua tokoh negara ini.
Ketidakbijakkan dan egoisme diri pemimpin negara seperti ini, apakah menjadi contoh yang bagus untuk generasi berikutnya? Tentu tidak. Justru hanya meninggalkan dendam dan dendam lagi. Masa depan generasi berikutnya hanya mendapat peta jalan yang suram, historis keganasan pemimpin, dan permusuhan antar negara yang berkelanjutan. Sanggupkah rekonsiliasi generasi berikutnya terjadi?
Putin dan Zelensky, leader yang melupakan masa depan rakyat