Dalam obrol bersama kawan-kawan di sebuah kedai (11/12) pukul 19.00 wib pekerja tambang timah inkonvensional (TI) mengeluh soal kekurangan BBM di Pangkalpinang. Dampaknya, tak bisa bekerja. Istirahat dulu untuk sementara.Â
Dalam obrolan lebih lanjut, mereka menegaskan BBM, air, dan listrik kalau tidak ada, macetlah ekonomi kita. Mendengar keluh mereka demikian, saya melongah dan mengangguk-anggukkan kepala. Kenapa bang, cetus saya.Â
BBM tidak ada mesin tak hidup pak. Mesin tidak hidup, listrik pun mati. Air tak berjalan. Jarang disini orang tarik-ratik air lagi. Hidup stopkontak, listrik hidup, mesin berbunyi, air mengalir pak, jelas Budi (sebut saja nama demikian). Benar bang, timpal saya.
Obrolan ini rasanya sederhana saja. Tetapi, jauh sekali memiliki makna sebuah perjalanan kehidupan. Bahwa listrik, air dan BBM, terkait erat satu sama lain.Â
Dampak jauhnya ialah orang duduk menunggu. Tunggu pemasokan BBM. Sehingga aktivitas dapat berjalan lagi. Ekonomi tidak lumpuh namun bangkit kembali walau pandemi Covid-19 belum juga hekang dari Kepulauan Bangka Belitung.
Pagi tadi sekitar pukul 10.00 wib saya bersama anak saya jemput isteri di rumahnya, rumah mertua. Jalan keluar dari rumah saya tembus ke beberapa SPBU Kota Pangkalpinang. Ketika keluar dari jalan rumah saya, kata anak, Pak, kita melewati jalan dekat kantor wali kota saja.Â
Alasannya sederhana. Biar lebih dekat. Namun ketika keluar ke jalan utama protokol melintasi Jl. Soekarno Hatta, pemandangan di depan kami terlihat antrean panjang kendaraan beroda dua dan empat, hampir dua kolo meter.Â
Jalan yang lebar empat meter, tertinggal semester lebih untuk kendaraan yang lewat. Saya pun mengendarai kendaraan dengan pelan. Karena antrean kendaraan samping kiri terpantau begitu padat. Tanpa diberitahu, naluri jurnalis pemula anak saya muncul. Dia mengambil android saya dan memotret begitu banyak pemandangan antrean kendaraan itu.
Saking padat kendaraan yang antren, saya mencoba membelok kendaraan di suatu persimpangan, di depan sekolah Santa Theresia 2.Â
Saya menyeberang untuk membalik arah. Anak saya yang berada disamping, masih sibuk dengan android saya. Pak, saya sudah banyak photo. Pasti banyak yang menarik, tapi ada lah yang mungkin jelek, cetus anakku. Saya hanya senyum dan lama baru tertawa lepas. Karena, pikir saya, kok sibuk kali anak saya ini untuk memotretnya.