Kata mural itu asalnya dari kata Latin "murus" yang berarti "dinding". Semetntara dinding adalah sebuah media, sarana, wadah, semacam tempatlah.
Awalnya dinding ini tidak menjadi sarana coret-coretan. Dinding ini sebagai tempat berlindung. Karena sebagai tempat berlindung, "murus" ini telah dikenal sejak zaman prasejarah.
Manusia zaman prasejarah mengenal "murus" sebagai tempat, sarana, perlindungan.
"Murus" sendiri adalah dinding-dinding gua. Dinding-dinding gua itu terbuat dari batu atau tanah, maka ia menjadi sarana manusia prasejarah berlindung, supaya mereka sendiri selamat dari binatang buas, dinginnya situasi, dan sebagainya.
Lamban laun, dalam perkembangan pola berpikir manusia prasejarah, "murus" tadi menjadi tempat untuk menggambarkan sesuatu seperti manusia, binatang, pohon, mataharia, bulan, dan lain-lain.
Gambar-gambar di "murus" ini kemudian hari sebagai jejak sejarah. Muras dulu, tak seindah sekarang. Mereka tak mengenal warna-warni.
Mereka hanya menggambarkan suatu gambar, dengan simbol atau lambang yang memiliki makna khas yang harus dibaca oleh manusia masa kini.
Di masa dulu apakah "murus" yang digambarkan itu memiliki nilai estetika seperti sekarang? Atakah pada "murus" itu menandai sebuah makna kritik?
Mungkin tidak! Gambar pada "murus" yang ditinggalkan mereka hanya menunjukkan suatu kehidupan yang sedang mereka lakoni.
Dan para arkeolog masa kini menilai sebagai sebuah tahapan estika dan memaknai kehidupan mereka masa itu sebagai masyarakat petani atau berburuh atau sebagai masyarakat nomaden. Hemat saya tidak pernah terbaca sebagai suatu nilai estetika.
"Murus" masa prasejarah, tanpa grafis seperti sekarang. Semuanya dalam bentuk tanda atau lambang tertentu. Dari lambang atau simbol itulah harus dibaca dan dimaknai sebagai makna suatu kehidupan masa itu.